Survei LeIP: Tiga PR Besar Kinerja Pengadilan Tipikor
Utama

Survei LeIP: Tiga PR Besar Kinerja Pengadilan Tipikor

Tim peneliti memberikan tiga rekomendasi yang didasarkan pada peninjauan ulang terhadap kondisi dan desain Pengadilan Tipikor saat ini.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Foto: RES
Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Foto: RES

Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan East-West Center telah meluncurkan laporan hasil penelitian terhadap kinerja pengadilan tipikor setelah berlakunya Undang-Undang 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Laporan penelitian yang didukung Siemens Integrity Initiative bertujuan mengevaluasi kinerja, memetakan masalah dan tantangan, serta merumuskan rekomendasi-rekomendasi untuk meningkatkan kualitas Pengadilan Tipikor.

Dari hasil penelitian tersebut, Peneliti LeIP, Muhammad Tanziel Aziezi menyampaikan pengadilan Tipikor belum sepenuhnya mencapai tujuan pembentukannya. Tujuan awal pengadilan ini dibentuk yaitu sebagai solusi atas ketidakpercayaan publik sekaligus mendorong penanganan korupsi yang efektif dan efisien. Namun dalam kenyataannya kepuasan publik terhadap pengadilan tipikor justru menurun.

Aziezi menjelaskan hasil penelitian tersebut menemukan beberapa penyebab terjadinya penurunan kepercayaan publik terhadap Pengadilan Tipikor. Pertama, belum optimalnya fungsi hakim ad hoc yang seharusnya dapat memberikan nilai tambah terhadap kualitas persidangan.

“Hakim Ad Hoc yang terpilih pada umumnya adalah sarjana hukum yang belum tentu memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam penyelesaian perkara tipikor yang kompleks,” jelas Aziezi. (Baca: Mengurai Problematika Pengadilan Tipikor Pasca-Terbit UU 46/2009)

Kedua, ditemukan bahwa hanya 13% atau 126 hakim hakim bersertifikasi tipikor di tingkat pertama yang bersidang di pengadilan tipikor. Sedangkan 87% atau 833 di antaranya justru tidak ditempatkan di pengadilan tipikor. Ini merupakan inefisiensi dalam program sertifikasi hakim. Sementara di sisi lain pada pengadilan-pengadilan di kota besar yang sibuk, terdapat keluhan terhadap ketersediaan jumlah hakim tipikor di tengah-tengah jumlah perkara tipikor yang tinggi.

Ketiga, penelitian ini juga menemukan bahwa pengadilan tipikor justru menyebabkan inefisiensi penanganan perkara concursus (perkara gabungan) yang mungkin muncul dalam perkara korupsi, misalnya pada perkara tindak pidana pajak yang menyertai terjadinya suatu korupsi.

Atas persoalan tersebut, Aziezi menyampaikan Tim Peneliti menyarankan beberapa rekomendasi yang didasarkan pada peninjauan ulang terhadap kondisi dan desain Pengadilan Tipikor saat ini.

Pertama, dengan meninjau ulang kelembagaan dan kewenangan Pengadilan Tipikor, Tim Peneliti merekomendasikan agar pembentukan Pengadilan Tipikor di tingkat kabupaten/kota tidak perlu dilakukan, diadakannya mekanisme yang memungkinkan persidangan perkara tipikor di PN terdekat, serta memperluas kewenangan Pengadilan Tipikor agar dapat menangani jenis perkara lain yang berhubungan dengan tipikor.

Kedua, Tim Peneliti menyarankan untuk meninjau ulang sistem sertifikasi dan distribusi hakim karier. Dengan meninjau status quo kondisi hakim karier, Tim Peneliti merekomendasikan perlu dilakukannya analisis kebutuhan hakim karier berbasis data yang nantinya harus terus diperbarui secara rutin.

“Di samping itu perlu pula dilakukan perubahan terhadap mekanisme pemberian SK penempatan hakim karier, mengatur ulang pelaksanaan tugas hakim karier, mempertimbangkan pemberian insentif tambahan, serta menyusun program diklat berkelanjutan bagi hakim karier,” jelas Aziezi.

Ketiga, Tim Peneliti memberikan rekomendasi berdasarkan peninjauan ulang terhadap konsep dan praktik hakim ad hoc juga harus dilakukan. Berdasarkan kajian dan tinjauan yang dilakukan, Tim Peneliti merekomendasikan perlunya mendesain ulang pola kerja, rekrutmen, hingga diklat terhadap hakim ad hoc.

Hal ini perlu dilakukan dengan memperhatikan pemetaan beban kerja dan tipologi perkara. Keempat, Tim Peneliti juga merekomendasikan dilakukannya penguatan terhadap kepaniteraan Pengadilan Tipikor guna menjamin dukungan administrasi yang mumpuni. Penguatan ini dapat dilakukan dengan melakukan penunjukan panitera pengganti khusus Pengadilan Tipikor serta dengan melaksanakan pendidikan dan orientasi khusus panitera pengganti pada Pengadilan Tipikor

Mantan Piminan KPK Chandra M Hamzah yang juga menjadi salah satu pembicara dalam peluncuran hasil penelitian tersebut, menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor dibangun dengan harapan dapat menjadi pengadilan berintegritas tinggi dan berkualitas. Salah satu pengejawantahan akan integritas tersebut dilakukan melalui pengadaan jabatan hakim ad hoc.

Dia juga menyatakan bahwa pada awal pembentukannya, Pengadilan Tipikor menjadi salah satu institusi yang sarat akan substansi dan menguji keahlian keilmuan hukum para pihak terlibat di dalamnya. Baginya, tujuan dan desain awal Pengadilan Tipikor saat ini telah bergeser dari apa yang dirancang pada awal pembentukan.

Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak, Nani Indrawati, mengatakan Pengadilan Tipikor saat ini dalam realitanya memang mengalami berbagai kendala. Dia menyampaikan pengadilan Tipikor di tingkat pertama seringkali dihadapkan pada beban kerja yang terlalu tinggi, hal ini diperparah dengan tidak diterapkannya ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Pengadilan Tipikor, di mana Hakim Karier dibebaskan dari tugasnya menangani perkara lain selama mengadili perkara tipikor.

Dia juga menuturkan terjadinya penurunan standar dalam pelaksanaan proses persidangan maupun dalam manajemen sumber daya manusia. Persepsi publik juga mempengaruhi penilaian akan kinerja Pengadilan Tipikor secara umum. Kendati demikian, sering kali penilaian tersebut didasarkan semata-mata pada conviction rate di Pengadilan Tipikor.

Profesor Hukum Indonesia dari University of Sydney, Prof Simon Butt, menyatakan bahwa penilaian kinerja Pengadilan Tipikor seharusnya tidaklah didasarkan semata-mata pada conviction rate. Ia berpendapat bahwa idealnya, kinerja Pengadilan Tipikor diukur berdasarkan esensi awal pembentukannya serta berdasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang peradilan yang baik.

Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro, menyampaikan MA tidak menutup mata adanya berbagai masalah yang perlu disikapi dan mendapat perhatian untuk lebih meningkatkan penyelenggaraan peradilan terhadap perkara korupsi yang berkualitas dan efektif.

Menurutnya, evaluasi terhadap permasalahan Pengadilan Tipikor perlu dilakukan agar dapat dicarikan solusinya, baik dengan memperkuat kapasitas hakim bersertifikasi tipikor, pemberian insentif, hingga berbagai alternatif solusi dalam penelitian ini yang disambut baik oleh Mahkamah Agung.

Wakil Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK), Alexander Marwata, menyampaikan bahwa KPK memiliki sejumlah ekspektasi terhadap Pengadilan Tipikor yang diharapkan dapat menjadi “role model bagi pengadilan pada umumnya dari aspek administrasi perkara, fasilitas pengadilan yang efisien, transparan dan akuntabel, serta modern yang didukung teknologi informasi”.

Lebih lanjut lagi, dia mengemukakan bagaimana proses penanganan perkara, ketepatan waktu, jaminan keamanan, hingga kualitas dan integritas SDM yang ada pada Pengadilan Tipikor saat ini masih belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan.

Tags:

Berita Terkait