Suwoto Mulyosudarmo: Perlu Dipertimbangkan Sistem Campuran
Berita

Suwoto Mulyosudarmo: Perlu Dipertimbangkan Sistem Campuran

Jakarta, Hukumonline. Melihat kondisi yang ada, sudah saatnya Indonesia menerapkan sistem pemerintahan campuran, yaitu sistem pemerintahan presidensil dan parlementer. Sistem pemerintahan campuran akan mengurangi kekuasaan presiden yang selama ini sudah menjadi tuntutan masyarakat.

Rfl/Inay
Bacaan 2 Menit
Suwoto Mulyosudarmo: Perlu Dipertimbangkan Sistem Campuran
Hukumonline

Pernyataan itu disampaikan Prof. Dr. Suwoto Mulyosudarmo dalam wawancara khusus dengan hukumonline di Jakarta, Kamis (3/8). Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga ini, konstitusi harus didasarkan pada keinginan atau tuntutan  mendasar dari rakyat.

Salah satu tuntutan yang telah mengemuka selama ini adalah pengurangan kekuasaan presiden. Hal ini bisa dielaborasi dengan mengeluarkan kekuasaan sebagai kepala pemerintahan dari presiden.

"Dulu sering dikritik bahwa kekuasaan itu heavy pada presiden, yang sumbernya pada penjelasan UUD 1945," ujar Suwoto. Sayangnya, penjelasan itu tak pernah dipersoalkan dalam amandemen pertama. Akibatnya, kendati amandemen bermaksud mengurangi kekuasaan eksekutif, tapi konsentrasi kekuasaan tetap pada presiden karena Penjelasan UUD 1945 tidak diubah.

Upaya konkret untuk mengurangi kekuasaan itu adalah melimpahkan kekuasaan kepala pemerintahan kepada perdana menteri atau menteri pertama. Kendatian demikian, Mulyoto menolak menyebut hal itu parlementer.  "Itu sistem campuran", ujarnya. 

Dan mesti tak tegas, Indonesia telah mempraktekkan sistem campuran itu pada era pemerintahan Gus Dur. Misalnya dalam pembentukan kabinet, Gus Dur mengajak beberapa orang anggota DPR untuk urun-rembug. Itu, menurut Mulyoto, adalah ciri parlementer. Tapi, ciri presidensilnya tetap kental karena yang mengeluarkan SK pengangkatan tetap presiden.

Kemudian, dalam pemberhentian menteri-menteri oleh presiden, DPR bisa mempersoalkan. Menurut Suwoto, ini adalah ciri parlementer. Tapi, pemberhentian tetap dilakukan presiden (ciri presidensil).

Suwoto tak berkeberatan bila ciri-ciri itu tetap dipertahankan asalkan jelas ciri presiden atau parlementer mana yang dipakai. "Jangan seperti sekarang, disebut presidensil, tapi tidak murni."

Posisinya kuat

Bila sistem campuran yang dipakai, maka pertanggungjawaban presiden juga bisa campuran. Bisa diberhentikan karena pelanggaran kebijakan (ciri parlementer), bisa juga karena dakwaan krimnal (ciri presidensil).

Ketika disinggung bahwa Panitia Ad Hoc I (PAH) BP MPR, yang mempersiapkan rancangan perubahan kedua UUD 1945, tetap bersikukuh dengan sistem presidensil, Mulyoto menganggap sistem yang dihasilkan mereka sudah campuran.

"Dalam draf disebutkan presiden memegang kekuasan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Itu memang salah satu ciri presidensil. Tapi apakah sistemnya sudah presidensil," tanya Mulyoto, sembari menambahkan bahwa banyak elemen parlementer yang juga dimuat dalam draf perubahan UUD 1945.

Lalu, apa gunanya sistem pemilihan presiden secara langsung bila hanya sekadar kepala negara? Terhadap pertanyaan itu, Mulyoto menyatakan bahwa pemilihan langsung adalah mekanisme penyeimbang agar posisi presiden kuat. Jadi, walau kekuasaannya terbatas (hanya sebagai kepala negara), presiden tak mudah dijatuhkan.

Senada dengan Mulyoto, staf pengajar hukum tata negara UI, Satya Arinanto, mengatakan bahwa dengan kabinet disusun berdasarkan garansi-garansi partai politik, itu sudah menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem parlementer.

"Dalam sistem parlementer itu, pemilu diadakan untuk memilih anggota-anggota parlemen. Dan anggota-anggota parlemen akan membentuk kabinet," ujar Satya dalam seminar Reposisi Lembaga-lembaga Negara di Indonesia, yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia di Jakarta.

Tags: