Taktik Pemerintah dari Masa ke Masa ‘Merayu’ Investor Bangun Infrastruktur
Berita

Taktik Pemerintah dari Masa ke Masa ‘Merayu’ Investor Bangun Infrastruktur

Skema Pembiayaan Investasi Non Anggaran (PINA) akan sangat menarik perhatian investor apabila dikombinasikan dengan skema Kerjasama Pemerintah Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).

NNP
Bacaan 2 Menit
Tender Infrastruktur akan mendapat perlakuan khusus. Foto: SGP
Tender Infrastruktur akan mendapat perlakuan khusus. Foto: SGP
Pemerintah butuh modal sebesar Rp5 ribu triliun untuk mendanai proyek infrastruktur. Namun, cadangan kas negara baru cukup mendanai kurang dari separuh kebutuhan itu. Bahkan, sekalipun anggaran infrastruktur pemerintah digabung selama lima tahun mulai dari 2015 sampai 2019, baru terkumpul kurang lebih sekitar Rp 1.500 triliun. Berarti, pemerintah butuh dana swasta terlibat lebih besar.

Staf Ahli Menteri PPN Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur pada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Pungky Sumadi mengatakan bahwa pemerintah terus mencari solusi mengatasi keterbatasan Anggaran Belanja Pendapatan Negara/Daerah (APBN/APBD). Salah satu alternatif yang didorong pemerintah adalah menarik minat pelaku usaha swasta agar terlibat dalam penyediaan infrastruktur.

“Kita mendorong lebih jauh lagi dimana penyediaan infrastruktur bisa sepenuhnya oleh non pemerintah. Dunia usaha kita dorong,” kata Pungky dalam acara talkshow yang digelar Kementerian PPN/Bappenas Jumat (17/2) pekan lalu.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian PPN/Bappenas memang tengah mendorong pelaku usaha terutama yang mengelola dana jangka panjang agar berpartisipasi dalam penyediaan infrastruktur. Melalui program yang dinamai Pembiayaan Investasi Non Anggaran (PINA), pemerintah berharap kebutuhan penyediaan infrastruktur yang tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah baik Kementerian/Lembaga ataupun Pemerintah Daerah dapat ditutupi oleh keberadaan pelaku usaha swasta maupun BUMN/BUMD.

Pungky menambahkan, pelaku usaha swasta akan sangat tertarik untuk berpartisipasi dalam sejumlah proyek infrastruktur yang telah dirancang dalam PPP (Public Private Partnership) Book 2017. Dalam panduan itu, tercantum 22 proyek infrastruktur yang siap ditawarkan kepada investor melalui skema Kerjasama Pemerintah Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) di berbagai sektor mulai dari infrastruktur, ekonomi, maupun sosial. (Lebih Jelas Tentang Skema PINA, Baca: Jalan Kelauar Atasi Kesulitan Pembiayaan Infrastruktur di Sektor Energi dan Konektivitas)

“Lokasi-lokasi pun tersebar, mulai dari Medan, Batam, Pekanbaru, Manado, dan Papua. Harapan kami, semua pemangku kepentingan baik dari pemerintah maupun swasta dapat memanfaatkan dan memahami lebih komprehensif tentang skema PINA dan KPBU,” kata Pungky.

Hukumonline.com

Dijelaskan Pungky, skema kerjasama antara pemerintah dengan swasta telah berlangsung sekira tahun 1998. Pertama kali, keterlibatan swasta saat itu masih belum menyentuh sektor-sektor yang luas seperti sekarang ini. Sebagai contoh, keterlibatan swasta pada awal masanya terbatas pada penyediaan pelayanan dasar perkotaan seperti pembangunan gedung-gedung perkantoran yang dilakukan melalui skema Build Operate Transfer (BOT).

Saat itu, kata Pungky, pemerintah sadar bahwa aspek kepastian hukum masih jauh dari kata cukup lantaran regulasi-regulasi yang diterbitkan masih minim. Namun, sekitar 7 sampai 8 tahun setelah itu mulai muncul upaya dari pemerintah mengakselerasi sejumlah aspek baik dari segi kelembagaan maupun regulasi itu sendiri. Titik baliknya dimulai saat dibentuk PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia Persero (PT PII) sampai terbitnya regulasi yang terakhir yakni Perpers Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

“Disitu (Perpres Nomor 38 Tahun 2015) ada fitur-fitur yang jauh sangat menarik bagi swasta, misalnya dibukanya infrastruktur yang mencakup misalnya sosial sampai lapas (lembaga pemasyarakatan) dan rumah sakit,” sebutnya.

Sekadar diketahui, Perpres Nomor 38 Tahun 2015 sebelumnya pernah dilakukan beberapa kali perubahan. Aturan ini ditujukan buat badan usaha proyek infrastruktur dan institusi pemerintah. Ada 19 jenis proyek infrastruktur yang terdapat pada Perpres Nomor 38 Tahun 2015, termasuk di dalamnya infrastruktur transportasi, jalan, air minum, telekomunikasi, pendidikan, lembaga pemasyarakatan, kesehatan, perumahan rakyat, dan lain-lain. Penting untuk diingat, KPS dapat dilakukan untuk lebih dari satu proyek.

Sebagai perbandingan, aturan sebelumnya di Perpres Nomor 66 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur hanya mengatur 8 jenis proyek infrastrukur yang dapat dilaksanakan menggunakan KPS, antara lain transportasi, jalan, perairan, air minum, limbah, telekomunikasi, listrik, dan minyak dan gas.

Teknisnya, Apabila PPP diinisiasi oleh Pihak Pemerintah, proyek tersebut harus melalui tiga tahapan berikut, yakni identifikasi; anggaran; dan kategorisasi. Pada tahapan identifikasi, Pihak Pemerintah wajib melakukan studi pendahuluan untuk menentukan konsep KPS, skema pembayaran dan sumber dana, dan metode untuk menawarkan proyek (jadwal, prosess, dan penilaian). Pihak Pemerintah wajib mengadakan uji publik untuk menyusun proyek yang dijadikan prioritas dan menyusun anggaran.

“Kita juga mendorong keterlibatan dari instansi internasional. saat ini banyak investor asing yang masuk ke proyek jalan toll kita kemudian kita juga menyediakan skema pembayaran yang lebih mudah. Contohnya pembiayaan proyek Palapa Ring Kemenkominfo dengan skema Avaibility Payment (AP). Itu yang membuat kita (pemerintah) tidak perlu menyediakan dana besar tetapi secara bertahap pemerintah bisa mencicilnya,” papar Pungky.

Selain itu, dalam mempersiapkan KPS, Pemerintah wajib menyusun dokumen di antaranya, laporan studi pendahuluan; rencana bantuan dan dukungan pemerintah, Skema pengembalian investasi kepada Badan Usaha, dan Pengadaan tanah. Sementara, apabila swasta yang menginisasi proyek KPS, mereka mesti memenuhi kriteria, antara lain terintegrasi secara teknis dengan rencana induk terkait, layak secara ekonomi, dan Badan Usaha memiliki kemampuan untuk membiayai proyek KPS.

Problemnya, persoalan kekurangan pembiayaan ini masih menjadi tantangan tersendiri. makanya Perpres ini memberikan insentif kepada Badan Usaha yang menginisiasi proyek KPS dengan kompensasi, diantaranya tambahan nilai 10% dari nilai proyek yang ditawarkan, hak untuk menawar kembali tawar terbaik sebelumnya (right to match) atau Badan Usaha memiliki dapat menjual hak yang timbul dari pengerjaan proyek, antara lain hak kekayaan intelektual kepada Pihak Pemerintah atau pemenang lelang.

Pemerintah dapat memilih Badan Usaha untuk proyek KPS melalui lelang atau penunjukan langsung. pemilihan melalui penunjukan langsung hanya dapat dilangsungkan apabila hanya satu badan usaha yang ikut dalam lelan atau KPS dilakukan terhadap keadaan khusus sehingga hanya dapat dikerjakan oleh satu Badan Usaha saja. Sementara, terkait dengan pengembalian biaya investasi dari pemerintah, setidaknya terdapat tiga skema pembayaran antara lain melalui tarif, ketersediaan layanan, ataupun bentuk pembayaran lainnya.

Pembayaran melalui tarif ditentukan untuk menutup biaya modal, biaya operasional, dan keuntungan pada periode tertentu. Apabila Pihak Pemerintah tidak dapat menutup seluruh biaya investasi Badan Usaha, jumlah pembayaran ditentukan berdasarkan kemampuan Pihak Pemerintah. Lalu, metode ketersediaan layanan, Badan Usaha akan dibayar melalui penggunaan fasilitas industri. Selain itu, Pihak Pemerintah juga dapat mengalokasikan dana untuk pengembalian investasi jika Badan Usaha juga bertindak sebagai operator dari fasilitas infrastruktur.

Penting untuk diingat, pembayaran melalui ketersediaan layanan hanya dapat digunakan apabila pembangunan infrastruktur telah selesai dan dapat digunakan dan pihak Pemerintah telah menyatakan bahwa infrastruktur telah memenuhi inidkator minimum yang dipersyaratkan. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan bantuan yakni berupa dukungan pemerintah dan jaminan pemerintah. Dukungan pemerintah diberikan dalam bentuk bantuan fiskal atau insentif pajak, sedangkan jaminan pemerintah diberikan dalam bentuk jaminan kewajiban pembayaran kepada Badan Usaha.

“Apabila kelayakan proyek itu masih kurang, pemerintah memberikan viability gap fund (dana dukungan tunai infrastruktur) sehingga lebih menarik daripada tidak memberikan fasilitas sama sekali,” papar Pungky.


Reformasi Regulasi KPBU di Indonesia
(dari Masa ke Masa)
1998-20042005-20102011-2012
· Lahir peraturan mengatur KPS: Keppres Nomor 7 Tahun 1998
· Terbentuk KKPPI (Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur)
· Perpres 12 Tahun 2011 tentang KKPPI
· Perpres 67 Tahun 2005 tentang KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur
· Perpres Nomor 13 Tahun 2010 Perubahan Perpres 67 Tahun 2005
· Penjaminan Pemerintah: Perpres Nomor 78 Tahun 2010 dan PMK Nomor 260 Tahun 2010
· Terbentuknya PT SMI, PT PII, dan PT IIF
· PPP Book terbit pertama kali
· Permen PPN Nomor 4 Tahun 2010 tentang Panduan Umum KPS
· Permen PPN Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penyusunan PPP Book
· Perpres Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Perpres 67 Tahun 2005
· PMK Nomor 223 Tahun 2012 tentang Pemberian Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya Konstruksi pada Proyek KPS
· UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
· Permen PPN Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan KPS
· Permen PPN Nomor 6 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyusunan PPP Book
201320142015
· Perpers Nomor 66 Tahun 2013 tentang Perubahan Perpres 68 Tahun 2005· Terbentuk KPPIP (Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas) berdasarkan Perpres Nomor 75 Tahun 2014· Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
· Permen Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan KPBU
· Perka LKPP Nomor 19 Tahun 2015 tentang Pengadaan Badan Usaha Pelaksana
· PMK Nomor 190 Tahun 2015 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan dalam Rangka KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur
2016
· Permendagri Nomor 96 Tahun 2016 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan dalam Rangka KPDBU dalam Penyediaan Infrastruktur di Daerah

Sumber: Direktorat Kerjasama Pemerintah Swasta dan Rancang Bangun pada Kementerian PPN/Bappenas, Februari 2017.

Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Persero, Emma Sri Martini menekankan bahwa kunci sukses penyedian infrastruktur adalah soal aspek kepastian hukum. Selain soal kepastian hukum itu, tak kalah pentingnya adalah soal komitmen pemerintah baik Kementerian/Lembaga ataupun Pemda selaku pemilik proyek dalam hal nantinya menetukan keputusan terhadap proyek tersebut. Emma mencontohkan, proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Umbulan Jawa Timur misalnya butuh waktu sampai 5 tahun untuk sampai pada tahap financial closing.

“Kepastian hukum menjadi key success factor keberhasilan itu bisa cepat atau lambat,” kata Emma.

Padahal, dibandingkan dengan proyek Palapa Ring yang dikoordinatori oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membutuhkan waktu kurang dari setahun untuk sampai pada tahap financial closing. Kata Emma, contoh penanganan yang dilakukan pada proyek Umbulan bisa menjadi pekerjaan rumah kedepannya menyoal komitmen pemerintah untuk menyelesaikan proyek yang tengah mereka garap.

Memang, contoh tersebut boleh jadi tidak tepat lantaran proyek Umbulan mesti menghadapi fakta dimana UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sempat dibatalkan seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, proyek Umbulan juga mesti menunggu terbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 190 Tahun 2015 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan dalam Rangka KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur. (Baca Juga: MK Batalkan UU Sumber Daya Air)

“Jadi sebetulnya, regulasi dan ekosistem kita sudah cukup kondusif untuk bisa menarik minat swasta dalam skema KPBU. Satu tahun bisa untuk financial close (proyek Palapa Ring Kominfo), tergantung komitmen dan keputsan pemerintah,” kata Emma.

Hal senada juga sempat disampaikan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, Jumat (17/2). Bambang meminta Kementerian/Lembaga maupun Pemda agar tidak melakukan business as usual apabila mengalami kesulitan pembiayaan. Ia mendorong agar mereka membuat skema yang menarik perhatian investor sehingga setelah mereka mendapat investor, maka Kementerian/Lembaga atau Pemda cukup bertindak sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK).

“Tidak hanya kepada pelaku bisnis, tapi Kementerian/Lembaga untuk bisa memanfaatkan berbagai macam skema alternatif sebagai cara untuk menjalankan programnya dan bisa menjadi PJPK yang baik. K/L fokus bagiamana proyeknya bisa diselesaikan daripada mempermasalahkkan berapa besar APBN untuk kementerian tersebut. Kementerian cukup menjadi PJPK, tidak harus menunggu APBN atau lobi kiri-kanan untuk dapatkan porsi dalam APBN,” kata Bambang.

Sebelumnya, Partner dari firma hukum Armand Yapsunto Muharamsyah & Partners (AYMP), Mutiara Rengganis menilai, Isu besar yang masih terus menjadi tantangan buat investor adalah mengenai penjaminan. kadangkala ada sikap pemerintah yang enggan memberikan penjaminan meskipun ia menyadari bahwa tidak semua proyek bisa diberikan penjaminan pemerintah dimana pemerintah punya prioritas seperti proyek mana saja yang bisa mendapatkan penjaminan pemerintah.(Baca Juga: Begini Strategi Corporate Lawyer Gaet Investor Lewat Skema Kontrak BOT)

“Institusi yang dibuat seperti Indonesia Infrastructure Guarantee (IIGF), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF). Itu salah satu mekanisme yang dibuat pemerintah agar swasta ini mau atau tertarik dalam proyek ini,” kata Mutiara saat diawawancarai Hukumonline akhir November 2016 lalu.

Keberadaan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) yang mengawasi pelaksaan proyek infrastruktur coba ditawarkan. Namun, kata Mutiara, peran KPPIP sangat terbatas mengingat komite tersebut hanya fokus untuk proyek-proyek infrastruktur prioritas. Setahunya, saat ini ada sekitar 30 proyek prioritas yang dibuat dan tengah diawasi oleh KPPIP.

“Ada banyak proyek lain yang perlu dibuat pemerintah, bukan hanya itu saja. Dan skema financing harus lebih jelas,” ujar Mutiara yang juga Pengurus dari Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) ini.

Usulan Buat Pemerintah
Sebetulnya, kendala yang dihadapi dari segi teknis adalah soal bagaimana pemerintah menunjuk proyek-proyek yang akan diajukan kepada investor. Selama ini pemerintah masih menggunakan cara dimana proyek-proyek dari daerah disaring oleh Kementerian PPN/Bappenas dan dilihat mana proyek yang potensial. Dari situ, proyek-proyek diusulkan berdasarkan urutan dimana proyek itu lebih siap untuk ditawarkan, maka proyek itulah yang ditawarkan kepada investor.

Mutiara usul sebaiknya cara itu tidak lagi dipakai oleh pemerintah. Menurutnya, investor tidak akan peduli dengan proyek-proyek mana saja yang siap. Sebaliknya, investor lebih ingin tahu apakah suaatu proyek bagus atau tidak untuk investasinya. Dengan kata lain, ia mendorong pemerintah membuat formulasi baru dalam menawarkan proyek kepada investor.

“Harusnya tidak gitu, harusnya proyek mana nih, kita lihat dari sisi proyek yang lebih atraktif bagi swasta itulah yang disiapkan untuk swasta. Jangan kebalikannya. Proyek-proyek yang tidak menguntungkan malah dikasih ke swasta. Itu yang membuat akhirnya proyek sekarang banyak mandek,” papar Mutiara.

Jalan keluar yang bisa dilakukan, sebut Mutiara adalah dengan memberikan semacam insentif untuk proyek-proyek infrastruktur. Menurutnya, ada beberapa macam insetif yang diberikan, salah satunya dengan skema proyek Build Operate Transfer (BOT). Skema BOT lebih fokus pada status kepemilikan (ownership) sebuah aset apakah itu milik pemerintah ketika masa konsesi atau apakah itu milik swasta selama masa operasional atau sebagainya.

“Inti dari BOT itu adalah bagaimana kita men-structrure proyek supaya itu atraktif untuk swasta. Dari sisi swasta itu concern-nya terutama dari sisi operasional karena kontrak BOT itu dibuat sedemikian lama tujuannya supaya swasta bisa me-recover investasinya dengan cara dia mengoperasikan proyeknya,” terangnya.

Banyak yang tidak menyadari bahwa proyek infrastruktur memiliki jangka waktu yang cukup lama. Full recovery baru bisa terjadi pada masa konsensi. Seharusnya pihak yang mengerjakan BOT itu diberikan jaminan bahwa dia bisa mengerjakan proyek itu tanpa interupsi. Jadi sepanjang masa konsesi itu, mereka harus dapat jaminan dari pemilik proyek bahwa dia bisa mengerjakan proyek itu tanpa gangguan.

Sayangnya, tidak semua proyek BOT itu layak. Artinya, ada proyek-proyek infrastruktur yang tidak layak karena pertimbangan biasanya berdasarkan hitungan investor sendiri. Jadi, karena itu pemerintah perlu memberikan subsidi seperti memberikan dukungan kas atau dana dukungan tunai infrastruktur (Viability Gap Fund/VGF), yakni dukungan kelayakan untuk konstruksi.

“Misalnya ada project cost sekian, nanti dari pemerintah bisa memberikan dukungan dalam bentuk cash untuk pembangunan konstruksi. Tapi hanya sebagian tidak boleh lebih besar dari setengah, tidak boleh mendominasi istilahnya kalau di dalam peraturan,” sebutnya.

Selain VGF, ada lagi bentuk penjaminan lainnya seperti skema pembayaran atas ketersediaan layanan (Availaibility Payment). Cara itu khusus untuk proyek yang ditinjau dari segi ekonomis sangat rendah, bahkan tidak ada nilainya. Misalnya, proyek yang ada kaitannya dengan pembangunan rumah sakit, rumah sakit daerah, atau lembaga pemasyarakatan (Lapas) di mana jenis ini tidak punya revenue langsung secara otomatis sehingga harus dibayar oleh pemerintah, bentuknya lewat availability payment.

“Jadi pemerintah menganggarkan dalam APBN untuk pembayaran availability payment itu kepada swasta. Sifatnya itu pembayaran cash terhadap layanan yang diberikan. Nah itu harus sesuai dengan kriteria atau indikator yang disepakati dalam perjanjian, service level-nya. Kalau service levelnya tidak dipenuhi swasta, otomatis dia tidak berhak dong pas pembayaran itu,” katanya

Selain itu, ada juga yang dinamakan Government Guarantee. Tujuannya adalah untuk credit enhancer atau meningkatkan kredit. Ambil contoh misalnya, ada suatu proyek yang sudah layak tetapi investor masih ragu-ragu karena mereka melihat risiko dari segi politik (political risk). Namun, ketika Investor melihat government guarantee, maka itu sebagai credit enhancer yang bisa menurunkan financing.

Meski begitu, pemerintah juga perlu mendorong dari segi pembiayaannya. Saat ini telah ada SMI atau IIF terkait dengan penjaminannya. Namun, itu masih belum cukup lantaran proyek yang mesti didanai sangat banyak jumlahnya. Mutiara usul, mestinya pemerintah bisa menggerakan sektor lain seperti perbankan dan pasar modal secara luas untuk membiayai proyek-proyek tersebut.

“Kalau SMI dan IIF kan tujuannya untuk menjadi katalis saja sifatnya supaya banyak dulu proyek yang dibiayai atua dimulai dikerjakan oleh swasta. Tapi ke depannya harus digerakan dari sektor perbankan dan pasar modal secara luas. Contohnya mengenai financing melalui penerbitan obligasi untuk infrastuktur bond. Itu salah satu yang menarik, tapi saat ini belum terlalu dimanfaatkan pemerintah,” tuturnya.

Dengan kata lain, lanjut Mutiara, pemerintah belum terlalu memperhatikan alternatif pembiayaan lain buat proyek-proyek infrastruktur. Selain itu, dari sisi insentif juga belum ada yang diberikan. Misalnya, insentif dalam bentuk pajak. “Biasanya kalau orang disuruh beli obligasi, dia mau yang yield tinggi. yield yang tinggi kalau tidak ada tax insentif kan susah,” tutup Mutiara.

Pembentukan Kantor Bersama KPBU
Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, BKPM, LKPP, dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia sepakat bernaung dalam wadah yang sama dalam Kantor Bersama KPBU RI atau PPP Office Government of Indonesia. kantor ini akan menjadi one-stop service pelaksanaan proyek KPBU dengan sejumlah fungsi, yakni pusat informasi, koordinasi, dan capacity building terkait KPBU.

“Melalui kedua skema alternatif pembiayaan infrastruktur (PINA dan KPBU), pemerintah akan terus berusaha mendorong partisipasi swasta dan lembaga pengelola keuangan untuk terlibat dan berkontribusi dalam upaya penyediaan infrastruktur,” kata Bambang.

Sementara itu, Direktur PT PII Persero, Sinthya Roesly mengatakan bahwa dua minggu setelah beroperasinya Kantor Bersama KPBU ini, sudah ada sejumlah perwakilan dari Pemda yang antusias mencari informasi mengenai bagaimana mendapatkan skema terbaik dalam penyediaan infrastruktur. Namun, ia menegaskan bahwa wadah ini tidak dalam kapasitasnya mengambil kewenangan satu institusi dengan yang lainnya.

“Dengan dibukanya kantor bersama KPBU, ini akan membantu mempercepat pelaksanaan proyek infrastruktur. Setelah 2 minggu, banyak potensi pemda yang datang ke kantor bersama, bertanya, cari info, dan ingin dapatkan skema karena keterbatasan APBD. Kita harapkan kantor bersama agar bangun standardisasi, konsistensi, dan berkoordinasi yang baik dalam membangun kerjasama. Ini tidak ambil kewenangan instansi, tapi sebatas koordinasi,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait