Teknik Pembuktian Ajaran Dualistis dalam KUHP Nasional
Kolom

Teknik Pembuktian Ajaran Dualistis dalam KUHP Nasional

Ajaran yang memisahkan secara tegas antara perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Setiap tahap pemeriksaan perkara pidana wajib membuktikan kesengajaan untuk mencegah pemidanaan terhadap perbuatan yang tidak sengaja.

Bacaan 6 Menit
Rudi Pradisetia Sudirdja. Foto: Istimewa
Rudi Pradisetia Sudirdja. Foto: Istimewa

Bagaimana pun juga, kita tidak akan rela membebankan derita (sanksi pidana) pada orang lain, sekadar hanya orang itu melakukan tindak pidana, kecuali kita yakin bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena tindakannya itu.”—Jan Remmelink (27 April 1922-15 May 2003).

Pengesahan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) membawa perubahan berarti terhadap sistem hukum pidana di Indonesia. Adopsi ajaran dualistis dalam KUHP Nasional mengakhiri perdebatan teoritis dalam literatur: apakah hukum pidana Indonesia menganut ajaran monistis atau ajaran dualistis. Ajaran monistis tidak memisahkan antara perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Sebaliknya, ajaran dualistis memisahkan keduanya secara tegas.

Salah satu ciri dianutnya ajaran dualistis dalam KUHP Nasional adalah pemisahan pembahasan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. BAB II Buku Kesatu KUHP Nasional dibagi menjadi dua bagian. Bagian Kesatu tentang Tindak Pidana dan Bagian Kedua tentang Pertanggungjawaban Pidana. Tindak pidana diartikan sebagai perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan (vide Pasal 12). Definisi itu menunjukkan dianutnya ajaran dualistis karena yang dibahas hanya aspek tindak pidana saja. Tidak dibahas tentang kesalahan (schuld) sebagai bagian dari pertanggungjawaban pidana. Ini berbeda dengan ajaran monistis yang menjadikan aspek kesalahan bagian dari pembahasan tindak pidana.

Baca juga:

KUHP Nasional juga memberikan penegasan pemberlakuan asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld). Bagian Pertanggungjawaban Pidana menyebutkan bahwa setiap orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan. Kesengajaan dan kealpaan sendiri merupakan bentuk dari kesalahan. Keduanya menjadi bagian pembahasan masalah pertanggungjawaban pidana. Penulis menilai hal ini berimplikasi terhadap perubahan perumusan unsur-unsur tindak pidana. 

Perumusan Unsur Tindak Pidana

Isi KUHP Nasional menegaskan bahwa perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja. Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 36 ayat (2)). Terjadi perubahan unsur-unsur beberapa tindak pidana dalam KUHP Nasional. Secara umum, rumusan tindak pidana terdiri dari tiga bagian: subjek (normadressaat), bagian inti delik (delicts bestanddelen), dan sanksi.

Bagian inti delik merupakan kata, frasa, atau kalimat secara eksplisit dalam rumusan tindak pidana pada pasal suatu undang-undang. Isinya merumuskan secara terperinci apa yang dilarang dilakukan (commissiedelicten). Ini termasuk tindak pidana berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah (omissiedelicten). Menurut Van Bemmelen, hanya bagian inti delik yang harus dimuat dalam surat dakwaan dan dibuktikan di depan pengadilan. Unsur delik (delicts elementen) berkaitan dengan hal-hal yang biasanya tidak tertulis dalam rumusan tindak pidana. Misalnya sifat melawan hukum perbuatan.

Tags:

Berita Terkait