Tips untuk Pelaku Usaha Saat Menangani Pelanggaran Merek
Terbaru

Tips untuk Pelaku Usaha Saat Menangani Pelanggaran Merek

Saat pelanggaran terjadi, pelaku usaha bisa melakukan dua hal sebelum memilih langkah litigasi yakni internal focus dan external effort.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Vice President Indonesian Corporate Counsel Association (ICCA) Yanne Sukmadewi (kanan) saat Webinar Anti Counterfeiting Issues In Indonesia-Lesson Learned, Kamis (2/9/2021). Foto: FNH
Vice President Indonesian Corporate Counsel Association (ICCA) Yanne Sukmadewi (kanan) saat Webinar Anti Counterfeiting Issues In Indonesia-Lesson Learned, Kamis (2/9/2021). Foto: FNH

Merek merupakan tanda yang dikenakan oleh pengusaha pada barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal. Dalam ruang lingkup perdagangan, pemalsuan merek sering terjadi. Tak hanya terjadi di pasar tradisional, pemalsuan merek juga marak ditemukan di pasar digital atau disebut dengan e-commerce.

Pada dasarnya pemalsuan merek merupakan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan bisa dipidana. Ketentuan pidana untuk pelanggaran merek merupakan delik aduan menurut Pasal 103 UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek. Artinya, pelanggaran merek tidak akan akan ditindak oleh penegak hukum tanpa aduan dari pemilik merek. Pelanggar merek tersebut bisa dipidana penjara selama maksimal 10 tahun dan denda sampai Rp5 miliar.

Vice President Indonesian Corporate Counsel Association (ICCA) Yanne Sukmadewi mengatakan pelanggaran merek sudah terjadi sejak dulu sebelum ada pasar e-commerce. Dengan kemajuan teknologi dan menghadirkan e-commerce peluang pelaku pelanggaran merek semakin besar. (Baca Juga: Efek Jera Bagi Pelanggar Merek)

Tapi, Yanne meyakini akan ada jalan keluar untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya pelanggaran merek di era digital. Hanya saja, dibutuhkan kerja sama dan kerja keras dari semua pihak untuk menanggulangi persoalan tersebut. “Sebenarnya ini bukan best practice, tapi lebih pas dibilang working in process, problem masih tetap ada, apalagi dengan adanya transaksi e-commere a buse banget,” kata Yanne dalam Webinar Anti Counterfeiting Issues In Indonesia-Lesson Learned yang diselenggarakan International Trademark Association (INTA) bersama K&K Advocates, Kamis (2/9/2021).

Yanne memberikan tips kepada pelaku usaha untuk menangani permasalahan pelanggaran merek. Saat pelanggaran terjadi, pelaku usaha bisa melakukan dua hal sebelum memilih langkah litigasi yakni internal focus dan external effort. Pertama internal focus. Sebagai pihak yang mengurusi persoalan legal, in house counsel harus melakukan monitoring terhadap sistem perusahaan baik online maupun offline.

Dalam konteks ini, in house counsel harus bekerja sama dengan divisi penjualan dan pemasaran yang setiap saat melakukan pengecekan langsung ke market.Kemudian perusahaan juga harus membangun awareness tentang pemalsuan dalam lingkungan internal, membuat channel khusus dan laporan khusus dan indikasi adanya barang palsu. Yang terpenting melakukan follow up dengan membeli barang palsu sebagai bahan penilaian dan keaslian produk.

Setelah itu, perusahaan bisa melakukan legal action dengan cara melayangkan laporan ke institusi terkait seperti kantor HKI, Kemenkes, BPOM, atau institusi lain yang relevan dengan pemalsuan terhadp produk perusahaan. Jika ternyata pelanggaran merek bersifat minimal, Yanne mengatakan perusahaan bisa langsung meminta pihak platform untuk menurunkan atau men-takedown produk palsu tersebut.

“Kalau kasusnya kecil perusahaan bisa langsung minta takedown ke platform. Kalau misal ada indikasi palsu kita juga bisa follow up dan melakukan penelusuran sendiri terus ambil tindakan, bisa ajak ketemu atau somasi langsung,” terang Yanne.

Kedua external effort. Perusahaan yang merasa dirugikan atas pelanggaran merek dapat menjalin kerja sama dengan stakeholder untuk mencari jalan keluar. Salah satu hal yang kerap dilakukan adalah dengan melakukan sidak pasar, dan hal ini dinilai cukup efektif untuk mengurangi pemalsuan merek.

Yanne juga menyarankan pihak perusahaan giat melakukan sosialisasi terkait pemalsuan dan melakukan inovasi produk agar tidak mudah untuk dipalsukan. Terakhir, perusahaan harus melakukan correction action untuk memutuskan apakah pelanggaran merek tersebut akan dibawa ke pengadilan atau tidak.

“Atau bisa membentuk task force dengan perusahaan sejenis supaya pemalsuan produk yang sama bisa berkurang. Bisa dengan bikin program kerja berkesinambungan. Ini yang enggak pernah kita lakukan, dan juga lakukan internal interview,” papar Yanne.

Komitmen penegakan hukum

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen KI) Freddy Harris mengatakan kesadaran masyarakat lokal untuk mendaftarkan merek sudah mengalami peningkatan yang signifikan. Jika dulu pendaftaran merek mayoritas dilakukan oleh pihak luar, namun saat ini 60 persen pendaftaran merek berasal dari masyarakat lokal.

“Ini bagus karena sudah 60 persen pendaftaran merek itu dari lokal. Artinya orang Indonesia sudah sadar dengan perlindungan merek dan komersialisasi,” kata Freddy dalam acara yang sama.

Di sisi lain, pemerintah juga melakukan perbaikan proses pendaftaran merek. Dahulu pendaftaran merek memakan waktu hingga 9 bulan, namun sejak berlakunya UU Cipta Kerja proses itu dipangkas menjadi 3 bulan. Selain itu, UU Merek mengatur hal yang lebih kompleks, tidak hanya sekedar nama, warna, atau logo, tetapi juga terkait suara dan hologram yang saat ini menjadi konsen Ditjen KI Kemenkumham.

Terkait penegakan hukum, Freddy menegaskan pihaknya terus berkomitmen melakukan penegakan hukum terkait pelanggaran kekayaan intelektual. Salah satunya, pemerintah melalui Ditjen KI telah membentuk Tim Satgas Operasi Penanggulangan Status PWL Indonesia di bidang kekayaan intelektual. Untuk itu, dirinya cukup optimis dengan target Indonesia untuk keluar dari priority watch list, sehingga berada pada kategori watch list.

Tags:

Berita Terkait