Tolak Belakang Peraturan OJK 51/2017 dan Masifnya Pembiayaan Batubara
Terbaru

Tolak Belakang Peraturan OJK 51/2017 dan Masifnya Pembiayaan Batubara

Banyaknya instansi keuangan global beramai-ramai menarik diri dari pembiayaan batubara, justru di respons oleh bank nasional sebagai peluang dan ceruk pasar baru.

CR-27
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim COP26 yang dilaksanakan di Glasgow, Inggris beberapa waktu lalu membahas secara serius mengenai dampak emisi yang ditimbulkan oleh sektor batubara. Hal ini menyebabkan ratusan institusi keuangan global berkomitmen untuk keluar dari pembiayaan di sektor batubara.

Industri batubara dinilai tidak lagi memiliki prospek cerah di masa depan dikarenakan batubara adalah penyumbang emisi utama global yang berkontribusi secara serius terhadap laju persoalan krisis iklim.

Upaya percepatan transisi energi untuk mengatasi krisis iklim harus menyasar sektor hulu hilir batubara. Oleh karena itu, sebanyak 23 negara yang hadir dalam KTT tersebut sepakat menandatangani coal phase out statement. Hal ini jelas untuk menutup semua pembangkit tenaga listrik batubara dan keluar dari pembiayaan batubara secara total yang diharapkan dapat terselesaikan hingga pada tahun 2040 mendatang.

Adanya tuntutan energi yang mengakibatkan emisi tinggi ke emisi rendah, serta komitmen dari puluhan negara besar di dunia untuk tidak lagi membiayai sektor batubara agar mencapai nol emisi bersih pada 2050-2060, nyatanya dana perbankan nasional masih mengalir untuk pembiayaan di sektor batubara.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 51/03.2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan. POJK ini lebih lanjut mengatur bahwa bank wajib menerapkan keuangan berkelanjutan yang di dalamnya terdapat 13 bank yang berkomitmen, di antaranya Bank BRI, BNI, Mandiri, BCA, BJB, BSI, CIMB Niaga, OCBC NISP, Maybank, HSBC Indonesia, Bank Panin, Bank Muamalat dan Bank Artha Graha. (Baca Juga: Perkembangan Regulasi Iptek dan Sengkarut di Dalamnya)

Indonesia adalah pengekspor terbesar komoditas batubara dengan memperdagangkan 40% pasokan batubara di dunia. Pada tahun 2020 lalu, Indonesia mengirimkan 400 juta ton ke sejumlah negara di dunia. Banyaknya instansi keuangan global beramai-ramai menarik diri dari pembiayaan batubara, justru di respons oleh bank nasional sebagai peluang dan ceruk pasar baru.

Pada kesempatan sesi diskusi pada Jumat (20/1) yang lalu, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetyo mengungkapkan bank-bank konvensional nasional berperan besar di pembiayaan sektor batubara. “Gelombang tren lembaga finansial global untuk berhenti mendanai batubara justru direspons oleh bank nasional kita sebagai peluang baru yang dapat diisi untuk sektor batubara dan adanya tren yang dilakukan oleh instansi keuangan global tersebut tidak harus diikuti,” ujarnya.

Tercipta ruang untuk pendanaan batubara ini tidak mengagetkan publik, mengingat Indonesia masih mempunyai ambisi di sektor batubara.  Namun, hal ini merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan karena dana tersebut memiliki risiko. “Data dari Asian Center of Energy menyatakan bank-bank komersial berperan sebagai pendana utama dari perusahaan batubara dengan total proporsi 80%,” katanya.  

Andri melanjutkan dengan menghentikan alur pendanaan dari bank-bank dan lembaga finansial untuk menghentikan pendanaan di sektor batubara maka upaya untuk percepatan laju krisis iklim akan segera tercapai.

Andri turut mempertanyakan kembali ketentuan yang tertuang di dalam POJK 51/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik. Pada intinya, POJK ini membahas mengenai pembangunan berkelanjutan yang mampu menjaga stabilitas ekonomi yang turut mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup yang pada kenyataannya tidak sesuai dengan komitmen bank-bank tersebut yang masih membiayai proyek-proyek batubara yang nyatanya memberikan dampak kurang baik kepada lingkungan hidup.

Andri memaparkan salah satu contoh bank milik negara yang masih mendukung pembiayaan bisnis batubara adalah Bank BRI. “Pada Juli 2020 Bank BRI ikut terlibat dalam pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 dan 10, yang berdasarkan pemodelan dampak kesehatan, akan menyebabkan lebih dari 4.700 kematian dini selama masa PLTU tersebut beroperasi,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menjabarkan, pada April 2021 Bank BRI juga terlibat dalam kredit sindikasi sebesar AS$400 juta untuk Adaro Indonesia. Adaro Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang memiliki cadangan batubara sebesar 1,1 miliar ton dan berencana akan menggali seluruh cadangan batubara-nya.

Selain itu Bank BRI pada tahun 2020 menyalurkan kredit untuk sektor energi terbarukan sebesar Rp14,6 triliun yang artinya bila dibandingkan dengan total kredit yang disalurkan yang berjumlah Rp 880,67 triliun pembiayaan Bank BRI ke energi terbarukan hanya sebesar 1,5%.

“Padahal Bank BRI adalah salah satu bank yang menjadi anggota dalam first movers on sustainable banking, Bank BRI dalam sustainability report menyatakan tidak memberikan pembiayaan kredit pada usaha yang merusak lingkungan, namun terminologi pembiayan ini masih abu-abu karena nyatanya Bank BRI masih mendanai tambang batubara,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, peneliti ResponsiBank Dwi Rahayu mengajukan beberapa rekomendasi yang harus dipenuhi OJK dalam permasalahan pembiayaan di sektor batubara.

Pertama, OJK harus segera menyusun buku acuan kredit pembiayaan sektor energi sebagai panduan bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dalam mengembangkan kebijakan serta memahami dan mengelola risiko Lingkungan Sosial dan Tata Kelola (LST) sehingga mendorong praktik keberlanjutan usaha di sektor energi. Atas buku acuan yang dikembangkan OJK perlu menerapkan mekanisme mandatori pada LJK dalam pelaksanaannya. OJK juga perlu memastikan LJK mematuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Kedua, OJK juga harus mendorong LJK untuk berkontribusi pada target pengurangan emisi dengan memastikan sektor bisnis memiliki analisis komprehensif mengenai bagaimana target akan dapat dicapai termasuk mewajibkan sektor bisnis untuk memiliki ahli pengendalian perubahan iklim didalam struktur sumber daya manusianya.

Ketiga, LJK perlu membuat kebijakan sektoral terkait penyaluran kredit dan investasi ke sektor energi yang mendukung tercapainya target penurunan emisi gas rumah kaca sesuai dengan persetujuan paris agreement dengan mempertimbangkan faktor LST dan mengadopsi standar minimum yang mengacu pada standar internasional/praktik terbaik industri, serta peraturan hukum yang berlaku.

“Keempat, LJK harus segera beralih dari pembiayaan energi fosil dan meningkatkan pembiayaan ke sektor energi terbarukan untuk mendukung upaya transisi demi mewujudkan target 23% energi terbarukan pada tahun 2025,” katanya.

Kelima, LJK perlu membangun sistem monitoring dan evaluasi untuk secara berkala memastikan komitmen dan kepatuhan terhadap kebijakan keuangan berkelanjutan. Sistem monitoring dan evaluasi perlu dikembangkan agar mendukung pelaksanaan pemantauan dan peninjauan ulang uji kelayakan aktivitas bisnis yang dibiayai berdasarkan standar LST.

Tags:

Berita Terkait