Tolak Revisi UU KPK, Ini Argumentasi Pimpinan KPK Jilid IV
Utama

Tolak Revisi UU KPK, Ini Argumentasi Pimpinan KPK Jilid IV

Basaria Panjaitan mengakui sebelum menjadi pimpinan KPK, penyadapan KPK terkesan dilakukan seenaknya. Namun, setelah masuk KPK dan mempelajari anatomi lembaga tersebut, penyadapan rupanya dilakukan dengan asas kehati-hatian dan ketat.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Pimpinan KPk Jilid IV. Foto: RES
Pimpinan KPk Jilid IV. Foto: RES
Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2016. Dalam hitungan bulan, bukan tidak mungkin DPR dan pemerintah bakal melakukan pembahasan RUU tersebut secara terbatas sebagaimana wacana yang berkembang belakangan terakhir. Namun, sikap penolakan terhadap revisi UU KPK sudah diperlihatkan oleh pimpinan KPK yang baru.  

Ketua KPK Agus Raharjo mengeluarkan argumentasinya terkait revisi UU KPK. Soal penyadapan, Agus khawatir bila dilakukan terbuka bakal menghambat operasi penyelidikan dan penyidikan. Akibatnya, orang yang ditengarai terlibat tindak pidana bakal melarikan diri.

Agus menawarkan, sekalipun tetap dilakukan revisi setidaknya mengatur soal struktur organisasi, khususnya penambahan deputi di bidang supervisi monitoring dan koordinasi antar lembaga untuk mendorong Kepolisian dan Kejaksaan menjadi lebih maju.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menambahkan, kewenangan penyadapan semestinya tak perlu diubah. Ia menilai penyadapan yang dilakukan di Indonesia tak saja dilakukan KPK, namun juga kejaksaan dan kepolisian. Aturan penyadapan mestinya tidak saja mengatur KPK, tetapi semua lembaga yang memiliki kewenangan tersebut.

Seperti halnya di Belanda, kata Laode, aturan penyadapan diatur oleh UU khusus. “Sehingga bukan hanya KPK yang diatur, tapi ada UU khusus. Karena banyak (lembaga selain KPK, -red)  yang melakukan penyadapan,” ujarnya saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Rabu (27/1).

Wakil Ketua KPK lainnya, Basaria Panjaitan berpandangan tindakan penyadapan masuk dalam tahap penyelidikan dan bersifat tertutup. Sementara pencegahan belum masuk dalam tahap penyelidikan. KPK sejatinya tak menginginkan adanya operasi penangkapan, sepanjang tidak ada perbuatan korupsi.

Jenderal polisi bintang dua itu berpendapat, penyadapan yang dilakukan KPK terhadap seseorang yang ditengarai melakukan tindak pidana tidak asal. Ia mengakui ketika berada di luar KPK (sebelum menjadi pimpinan KPK, -red), penyadapan KPK terkesan dilakukan seenaknya. Namun, setelah masuk KPK dan mempelajari anatomi lembaga antirasuah itu, penyadapan dilakukan dengan asas kehati-hatian dan ketat.

“Setelah saya masuk, penyadapan itu hati-hati dan tidak semena-mena,” ujarnya.

Kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK sebagai ‘senjata’ ampuh dalam melakukan pemberantasan korupsi, setidaknya membidik orang yang diduga kuat melakukan korupsi. Oleh sebab itu, penanganan korupsi bersifat luar biasa. Meski kepolisian memiliki kewenangan penyadapan, namun mesti melewati prosedur yang cukup panjang, berbeda halnya dengan KPK.

“Kalau di polisi itu saya kesulitan karena prosesnya sangat panjang dan orangnya sudah kabur duluan,” katanya.

Terkait kewenangan KPK menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) juga ditampik KPK. Laode berpandangan kewenangan SP3 tidak diperlukan oleh KPK. Pasalnya, ia memiliki strategi menghentikan perkara dengan tidak melanggar UU. Ia khawatir ketika memiliki kewenangan SP3, bukan tidak mungkin tergoda untuk ‘bermain’ perkara.

“Kami ketakutan kalau kita punya SP3, jangan main-mainkan ini barang. Kalau diberikan jangan sampai disalahgunakan,” ujarnya.

Laode berpandangan strategi menghentikan perkara misalnya, ketika seorang tersangka sakit keras dan tak dapat dilanjutkan perkaranya, maka dapat diminta penetapan penghentian perkara melalui pengadilan. Cara lainnya, kata Laode, ketika koordinasi antar lembaga penegak hukum sudah berjalan baik, perkara dapat dilimpahkan ke Kejaksan. Selanjutnya, Kejaksaan dapat menghentikan perkara dengan menerbitkan SP3. “Jadi banyak hal soal teknis,” ujarnya.

Basaria menambahkan sebagai orang yang malang melintang di kepolisian, ia memahami ketika menghentikan perkara bakal mendapat tudingan beragam. Menurutnya, orang bakal beranggapan penyidik bakal mendapatkan sesuatu ketika menghentikan perkara.

“Makanya SP3 tidak diberikan ke kita. Kalau ternyata sangat-sangat tidak bisa dibawa ke pengadilan. Kita minta penetapan pengadilan, atau kita bisa minta Kejaksaan atau Kepolisian yang melaukan SP3,” katanya.

Anggota Komisi III Dossy Iskandar Prasetyo mengatakan, revisi terhadap UU KPK dalam rangka memperkuat pemberantasan korupsi. Namun, Dossy merasa bingung dengan KPK yang merasa cukup nyaman dengan tidak melakukan perubahan. “Lalu bagaimana mau melakukan pencegahan kalau tidak ada perubahan, sama saja intrumennya. Lalu kewenangan model apa, dan apa yang perlu direvisi versi KPK?,” ujar politisi Hanura itu.

Anggota Komisi III lainnya, Arsul Sani, menambahkan revisi UU KPK mesti dilakukan secara terbatas, mulai keberadaan dewan pengawas, prosedur penyadapan, kewenangan menerbitkan SP3 dan pengangkatan penyidik independen. Politisi PPP itu berpendapat, UUD 1945 sudah dilakukan amandemen sebanyak empat kali. Menjadi wajar ketika UU KPK dilakukan revisi melihat kondisi kekinian.

Misalnya, kata Arsul, kewenangan pengangkatan penyidik independen yang faktanya menjadi perdebatan hukum. Bila merujuk Pasal 45 UU KPK, KPK memang berhak mengangkat penyidik. Namun sayangnya, dalam pasal itu tidak terdapat penjelasan karena dianggap sudah jelas.

“Kalau KPK berhak mengangkat penyidik independen, berarti berhak mengangkat jaksa independen, tapi jaksa kan satu. Maka ini harus diperjelas agar tidak menjauhkan dari kepastian hukum,” ujarnya.



Tags:

Berita Terkait