Upaya Menutup Celah Agar Fintech Tak Berpraktik ‘Shadow Banking’
Berita

Upaya Menutup Celah Agar Fintech Tak Berpraktik ‘Shadow Banking’

Salah satu upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menutup celah praktik shadow banking dengan menetapkan batas maksimal penempatan dana dalam escrow account maksimal tujuh hari.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit

 

“Persaingan antara fintech dan bank bukan hanya di Indonesia. Seperti shadow banking, tetapi bukan lembaga bank. Ada kemungkinan kalau bank tidak lakukan hal sama, nasabah bisa convienance (nyaman) ke fintech karena cepat dan murah,” kata Wimboh.

 

Pengertian lebih sederhana, shadow banking merupakan pesaing bank dalam intermediasi kredit kepada rumah tangga dan bisnis serta sekelompok jaringan lembaga keuangan khusus yang menyalurkan dana yang berasal dari pihak ketiga kepada investor melalui berbagai teknik pendanaan sekuritisasi. Teknik sekuritisasi ini secara luas diakui sebagai inovasi keuangan yang menciptakan risiko kredit yang umumnya terkait stabilitas sistem keuangan dan ekonomi riil.

 

Praktik ini di Indonesia mewakili praktik pembiayaan atau multifinance, lembaga keuangan mikro, reksadana, dan sebagainya. Sehingga praktik shadow banking layaknya perbankan, yakni menghimpun dana, memberi kredit dengan bunga yang tinggi namun syarat yang lebih mudah dipenuhi dibandingkan syarat yang diwajibkan perbankan. Penetrasi shadow banking dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas ekonomi dikarenakan praktik tersebut memudahkan pengucuran kredit dengan bunga tinggi, sehingga berpotensi menyebabkan non performing loan (NPL) atau kredit macetnya tinggi.

 

Menurut Steven L. Schwarcz dalam buku Regulating Shadow Banking. Inaugural Address Boston University Review of Banking and Financial Law (2012), berpendapat shadow banking belum didefinisikan secara konkrit, maka karakteristiknya bersifat tentative. Atau dengan kata lain belum pasti dan dapat berubah. Pertama, shadow banking bukanlah perbankan tradisional dan karena perbankan tradisional cenderung diatur dengan ketat. Sedangkan shadow banking kurang diatur daripada perbankan pada umumnya.

 

Kedua, apabila shadow banking dibiarkan tanpa regulasi dapat menimbulkan risiko yang berdampak ke sistem keuangan. Transformasi kredit dalam lembaga-lembaga shadow banking menimbulkan subprime mortgage crisis. Selain itu, lembaga shadow banking yang menyediakan pendanaan jangka pendek melalui kebutuhan modal jangka panjang bisa menciptakan risiko likuiditas berkelanjutan sekalipun instrumen jangka pendek sendiri merupakan karakeristik shadow banking.

 

Penelusuran Hukumonline, dampak praktik shadow banking mengakibatkan krisis, salah satu diantaranya subprime mortgage crisis atau pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pada konsumen yang kelayakan kreditnya kurang dari cukup di Amerika Serikat pertengahan 2006. Mekanismenya sendiri konsumen ditawarkan teaster rate bernilai rendah selama dua tahun setelah itu pada akhir tahun kedua bunganya menjadi adjustable rate dan meningkat tajam, sehingga konsumen yang kelayakan kreditnya kurang menjadi kesulitan membayar. Tidak berselang setelah dikucurkan, adjustable rate yang ditetapkan sangat tinggi akhirnya menyebabkan peningkatan NPL.

 

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi mengatakan fintech model Peer to Peer Lending dilarang menjadi pihak yang ikut memberi pinjaman (lending) dan dicatatkan dalam balance sheet atau yang dikenal On Balance Sheet untuk menghindari terjadinya praktik shadow banking. Larangan tersebut tertuang dalam Pasal 43 POJK Nomor 77 Tahun 2016, sehingga ketika praktik tersebut dibiarkan maka akan sangat mengganggu kegiatan usaha perbankan dan perusahaan pembiayaan.

Tags:

Berita Terkait