UU Advokat dan PERADI; Refleksi Menuju 16 Tahun PERADI
Kolom

UU Advokat dan PERADI; Refleksi Menuju 16 Tahun PERADI

​​​​​​​Tersirat harapan penyatuan seluruh advokat Indonesia.

Bacaan 4 Menit

Menurut Irwan Hadiwinata dalam kolom hukumonline.com (2019), Putusan MK Nomor 035/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada tanggal 28 November 2019 dalam pertimbangan Putusan menyatakan sebagai berikut, pertama, bahwa persoalan konstitusionalitas organisasi advokat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat sesungguhnya telah selesai dan telah dipertimbangkan secara tegas oleh Mahkamah, yakni Peradi yang merupakan singkatan (akronim) dari Perhimpunan Advokat Indonesia sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006], yang memiliki wewenang sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat untuk menjalankan 8 (delapan) kewenangan organisasi; kedua, bahwa berkaitan dengan organisasi-organisasi advokat lain (harus dibaca sebagai badan perkumpulan perdata organisasi profesi advokat) yang secara de facto saat ini ada, hal tersebut tidak dapat dilarang mengingat konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.  

Sehingga Putusan MK tersebut dapat dirujuk dalam reformulasi Undang-Undang Advokat dengan mencantumkan PERADI sebagai satu-satunya wadah bagi Advokat Indonesia demi penyatuan advokat Indonesia. Karena bagaimanapun dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019  tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) disebutkan :” materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi :..d) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi..”. sehingga sudah saatnya pembentuk undang-undang segera menindaklanjuti.

Revisi Undang-Undang Advokat

Tentunya pembentuk undang-undang dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI tidak bisa merumuskan tanpa naskah akademik. Oleh karenanya diperlukan naskah akademik sebelum rancangan Undang-Undang tersebut dirumuskan. Menurut Penulis, naskah akademik merupakan poin-poin yang menjadi kebutuhan hukum untuk dibentuknya suatu rancangan undang-undang. Keharusan naskah akademis dinyatakan dalam Pasal 43 ayat (3) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.

Setidaknya pembentukan Rancangan Undang-Undang diperlukan untuk mengatur beberapa hal. Pertama, reformulasi organisasi advokat sesuai dengan Putusan MK Nomor 035/PUU-XVI/2018. Saat ini dalam Undang-Undang Advokat tidak ditegaskan bahwa PERADI adalah organsiasi advokat sah berdasarkan undang-undang.

Kedua, penyatuan advokat Indonesia dalam wadah tunggal (Single Bar). Ini penting demi meningkatkan kualitas profesi advokat serta menjaga dan membela advokat apabila mengalami permasalahan hukum. Ketiga, penguatan implementasi Kode Etik Advokat di Indonesia sehingga advokat di Indonesia selalu menjunjung tinggi Kode Etik Advokat Indonesia sehingga menjaga harkat dan martabat advokat sebagai profesi mulia (officium nobile) dengan mengedapankan kebebasan, kemandirian, independensi dan integritas dalam melaksanakan pemberian jasa hukum.

Keempat, peningkatan mutu Pendidikan Khusus Profesi Advokat dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi merupakan suatu keharusan karena hal ini juga telah diberikan kekuatan hukum yang mengikat oleh MK dalam Putusan Nomor 95/PUU-XIV/2016 yang memaknai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Advokat dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai yang berhak menyelenggarakan PKPA adalah organisasi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi hukum atau sekolah tinggi hukum.

Kelima, mengharuskan organisasi advokat untuk memberikan perhatian dan kepedulian kepada keluarga dari anggota yang sedang mengalami permasalahan hukum, musibah dan kedukaan serta mengembangkan minat dan bakat anggotanya demi meningkatkan solidaritas sesama advokat yang diwajibkan dalam Kode Etik Advokat Indonesia.

Dengan demikian reformulasi dalam UU Advokat yang menyebutkan PERADI dinilai akan  lebih efektif demi penyatuan advokat di Indonesia dalam single bar termasuk dalam penyumpahan advokat yang sejatinya memang melalui organisasi advokat yang ditunjuk dalam UU Advokat.

*)Johan Imanuel adalah advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait