UU Ini Kerap Dipakai Aparat dalam Menjerat Korporasi
Menjerat Korporasi Jahat:

UU Ini Kerap Dipakai Aparat dalam Menjerat Korporasi

PERMA Kejahatan Korporasi ini diharapkan bisa mengatasi keragu-raguan aparat hukum untuk menjerat korporasi selama ini. Tetapi, tetap dibutuhkan keberanian dan pengetahuan dalam penanganan kejahatan korporasi.

RFQ/ASH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Sudah cukup lama, kejahatan korporasi kerap menjadi sorotan publik terutama dalam kasus-kasus kebakaran hutan dan pencemaran lingkungan yang merugikan masyarakat sekitar. Namun, kini faktanya kejahatan korporasi mulai terjadi dalam kasus-kasus lain, seperti kasus korupsi, pencucian uang, penggelapan pajak yang diduga dilakukan pengurus korporasi sekaligus menguntungkan entitas korporasi yang bersangkutan.      

Sayangnya, setiap kejahatan tertentu yang diduga dilakukan korporasi sulit dijerat hingga  ke meja hijau. Sebab, penyidik dan penuntut umum enggan atau tidak berani melimpahkan perkara kejahatan korporasi ke pengadilan lantaran kesulitan merumuskan surat dakwaan dalam perkara kejahatan korporasi. Kalaupun ada beberapa kasus yang disidangkan, seringkali putusannya lepas dengan dalih entitas korporasi tidak turut didakwakan. (Baca Juga: Kisah di Balik Terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi)   

Setidaknya, ada lebih dari 70-an Undang-Undang (UU), di luar pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), telah mengatur pertanggungjawaban pidana bagi korporasi. Pengaturan entitas korporasi sebagai subjek hukum sudah dimulai sejak berlakunya UU Darurat No. 7  Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam perkembangannya, lahirnya UU lain yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum yang bisa dipidana.

Praktiknya, hanya beberapa UU yang kerap digunakan aparat penegak hukum menjerat dugaan tindak pidana tertentu yang dilakukan korporasi sekaligus bersama pengurusnya. Misalnya, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 78 ayat (14); UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal  116 ayat (1) dan (2), Pasal 117, dan Pasal 119; UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.   

Selain itu, UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Dalam Pasal 83-103 UU P3H ini diatur ancaman pidana yang dilakukan oleh korporasi. Sedangkan, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 diatur dalam Pasal 2  ayat (1)  dan Pasal 3. Demikian pula, UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2), serta Pasal 7, 8 dan 9.

Mantan Ketua Tim Kelompok Kerja (Pokja) penyusunan Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi (PERMA Kejahatan Korporasi), Prof Surya Jaya, mengatakan ada beberapa UU dari sekian banyaknya UU yang kerap digunakan aparat penegak hukum menjerat korporasi. Diantaranya, UU Kehutanan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Pemberantasan Tipikor, UU TPPU, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

“Hasil penelitian kurang lebih ada sekitar 100-an UU yang bisa menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana,” ujar Surya Jaya di ruang kerjanya, Selasa (17/1) lalu. (Baca Juga: 6 Persoalan Korporasi Sebagai Subjek Versi Kejaksaan)

Berdasarkan penelusuran hukumonline, kasus pencemaran lingkungan hidup dan kehutanan yang diduga dilakukan korporasi terbanyak diproses hingga ke pengadilan. Tak jarang belum rampung penyidikan, kasusnya dihentikan lantaran dianggap tak cukup bukti, seperti terjadi dalam kasus kebakaran hutan di Kepulauan Riau pada tahun 2015 lalu.

Kasus penggelapan pajak pun hanya hitungan jari yang menghukum korporasi. Salah satunya, pengemplang pajak yang dilakukan pengurus Asian Agri Group. Demikian pula, kasus korupsi, hanya ada beberapa kasus dimana korporasi turut dimintai pertanggungjawabkan selain pengurusnya.

“Acuannya, kalau rumusan norma Ketentuan Umum UU menyebut ‘Setiap Orang…’, itu diartikan dapat mempidanakan perorangan dan korporasi/perusahaan,” kata Surya menjelaskan.       

Sepengetahuan dia, sebelum berlaku PERMA Kejahatan Korporasi, ada beberapa putusan yang sudah menghukum korporasi. Salah satunya, kasus korupsi PT Giri Jaladhi Wana dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari yang disidik Kejaksaan Negeri Banjarmasin. Melalui putusan No. 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, PT Giri dihukum membayar denda Rp1,3 miliar dan hukuman tambahan berupa penutupan sementara selama enam bulan. PT Giri terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Selain itu, perkara korupsi yang diusut Kejaksaan Negeri Bandung di Pengadilan Tipikor Bandung.

“KPK belum pernah, memang putusan yang menghukum korporasi ini sangat sedikit, kalaupun ada mungkin karena keberanian dan wawasan luas aparat penegak hukumnya.”

Namun, lanjutnya, beberapa putusan perkara tindak pidana pencemaran lingkungan dan pengrusakan hutan, illegal logging yang mempidanakan (denda) korporasi jumlahnya terbanyak daripada perkara lain (korupsi/TPPU). Biasanya, dalam perkara kehutanan dan lingkungan hidup dibarengi dengan gugatan perdata. “Kita tidak menjatuhkan pidana tambahan dalam putusan kasasi, karena umumnya diajukan gugatan perdata ganti rugi,” kata dia. (Baca Juga: Ini Korporasi Pertama yang Dijerat UU Tipikor)

Salah satu contoh perkara lingkungan hidup adalah dijeratnya PT Dongwoo Enviromental Indonesia (DEI). Dalam dakwaan, penuntut umum menjerat Presdir DEI Kim Young Woo dengan Pasal 44 ayat (1) jo Pasal 45 jo Pasal 47 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dalam putusan kasasi No. 862 K/Pid.Sus/2010, majelis kasasi menghukum pidana dan denda terhadap Kim Young Woo. Meski dakwaan dan tuntutan jaksa hanya ditujukan terhadap Kim Young Woo sekaligus menghukum penutupan PT DEI.

Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Reda Manthovani mengatakan meski sulit menjerat korporasi, faktanya masih ada penegak hukum yang berhasil menyeret perusahaan/korporasi hingga dihukum di pengadilan lantaran terbukti melakukan tindak pidana. Karena itu, dia menyambut baik terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi ini yang diharapkan bisa mengatasi keragu-raguan aparat hukum untuk menjerat korporasi selama ini.

“Yang terpenting, adanya kesamaan cara pandang antar penegak hukum,” kata Reda Manthovani kepada hukumonline di ruang kerjanya beberapa waktu. (Baca Juga : Begini Prosedur Penanganan Pidana Korporasi)

Menurutnya, meski PERMA Kejahatan Korporasi sebagai pedoman hukum acara ini sudah berlaku, tetap dibutuhkan keberanian dan pengetahuan dalam penanganan kejahatan korporasi. “Tantangan bagi penyidik, jaksa, termasuk hakim tetap dibutuhkan keberanian dan tahan godaan atau intervensi uang dan kekuasaan. Seperti kita tahu, korporasi  besar dengan modal besar seringkali ‘menggoda’,” ungkapnya. “Kalau pengetahuan tetap dibutuhkan melalui program pelatihan.”
Tags:

Berita Terkait