UU Penyiaran Dinilai Tidak Demokratis
Berita

UU Penyiaran Dinilai Tidak Demokratis

Jakarta, hukumonline. Undang-undang (UU) Nomor 24 tahun 1997 dinilai tidak demokratis karena penyiaran dikuasai negara. Sudah saatnya, pengelolaan penyiaran dikembalikan kepada masyarakat.

Muk/APr
Bacaan 2 Menit
UU Penyiaran Dinilai Tidak Demokratis
Hukumonline

Hinca  IP Pandjaitan, pakar hukum media dari Internews, menyatakan Undang-Undang  Penyiaran yang berlaku saat ini, yaitu UU Nomor 24 Tahun 1997, sebagai produk rezim Orde Baru perlu direformasi. Pasalnya, sifatnya yang cenderung otoriter, tidak demokratis, tidak berwibawa, tidak berwawasan HAM, dan telah ketinggalan zaman.

Dalam ketentuan pasal 7 (1) UU No.24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dikatakan bahwa penyiaran dikuasai oleh Negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh Pemerintah. Istilah pengendalian di sini, menurut Hinca, sama dengan bagaimana membuat penyiaran ini menjadi tidak berdaya.

Selain itu, UU No. 24/1997 tidak memuat diversity in ownership dan diversity in content. Selama ini hanya ada dua saja lembaga penyiaran, yaitu penyiaran pemerintah dan lembaga penyiaran swasta. Kemudian diperkenalkan suatu lembaga penyelenggara penyiaran khusus. 

Secara nyata UU Nomor 24 Tahun 1997 ini tidak pernah bisa dijalankan, sehingga tidak pernah kelihatan apakah content mengalami keberagaman. Padahal kedua filosofi ini adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dan dikesampingkan jika berbicara pengaturan bidang penyiaran.

UU 24/1997 ini juga tidak berwibawa karena menurut Hinca, pada saat pembahasan mengalami berbagai permasalahan dan saat mau dijalankan juga bermasalah karena si "nakhodanya"  bubar, yakni Departemen Penerangan (Deppen) yang secara tegas disebutkan dalam UU.

"Lalu bagaimana mungkin kapal (Undang undang,Red) dapat berjalan tanpa ada nakhodanya," kata Hinca pada Seminar Menuju Reformasi Penyiaran pada 30-31 Agustus 2000..  Untuk itu menurut Hinca, agaknya anggota DPR perlu mempertimbangkan masak-masak saat menentukan penyebutan departemen yang menjalankan UU. Pasalnya, Presiden Abdurrahman Wahid bisa sekali dalam dua bulan mengganti kabinetnya.

Cek kosong 

Tampaknya UU ini merupakan cek kosong yang besar dengan mendelegasikan 26 materi ke dalam Peraturan Pemerintah (PP), 9 materi ke dalam Keppres dan 5 materi ke dalam Kepmen.

Tags: