Wadah Tunggal Organisasi Advokat Sudah Tidak Relevan di Indonesia
Resensi

Wadah Tunggal Organisasi Advokat Sudah Tidak Relevan di Indonesia

Hasil riset normatif-empiris dengan perbandingan hukum ke beberapa negara atas regulasi profesi advokat. Negara pembanding berasal dari penganut civil law system dan common law system.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 4 Menit
Wadah Tunggal Organisasi Advokat Sudah Tidak Relevan di Indonesia
Hukumonline

Bagaimana pengaturan hukum yang ideal tentang keorganisasian profesi advokat di Indonesia? Pertanyaan ini menjadi masalah inti dari riset disertasi Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe Sandjaja Hernanto. Karya intelektual Tjoetjoe lulus uji akademik pada Juli lalu. Tjoetjoe berhasil meraih gelar doktor hukum berpredikat cumlaude dari Universitas Borobudur. Disertasinya berjudul “Politik Hukum Organisasi Advokat dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia”.

Tjoetjoe langsung menerbitkan disertasinya menjadi buku berjudul Dewan Advokat Nasional : Single Regulator Organisasi Advokat Indonesia. Buku itu beredar resmi pada hari sidang terbuka promosi doktor dirinya. “Hingga sekarang bisa dikatakan organisasi advokat sudah berkembang pesat hampir mencapai puluhan organisasi,” kata Tjoetjoe dalam bab pendahuluan buku ini (hal.9).

Sebagai hasil dari riset disertasi, buku ini telah diuji bobot ilmiahnya oleh para pakar hukum. Dewan penguji disertasi terdiri dari Prof.Bambang Bernanthos (Ketua), Prof.Dr.Faisal Santiago (Sekretaris/Promotor), Prof.Dr.Zudan Arief Fakrulloh (Anggota), Prof.Dr.H.Abdullah Sulaiman (Anggota), Prof.Dr.Benny Riyanto (Anggota), Prof.Dr.Ade Saptomo (Anggota),  Dr.Azis Budianto, serta kopromotor Dr.St.Laksanto Utomo.

Fokus riset Tjoetjoe adalah pelaksanaan atas pengaturan sistem wadah tunggal organisasi advokat menurut Pasal 28 ayat 1 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).  Ia mengakui UU Advokat sejak awal bervisi sistem wadah tunggal atau biasa disebut single bar. Namun, sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi hingga Surat Keputusan Mahkamah Agung yang merespon dinamika pelaksanaannya justru memperkuat sistem multi bar.    

Hipotesis awal Tjoetjoe adalah praktik yang berjalan sejak UU Advokat disahkan sampai sekarang ternyata sistem multi bar. Ia berusaha membuktikan sudah seharusnya UU Advokat segera menyesuaikan dengan kenyataan empiris. Fokus penyesuaian UU Advokat yang diajukannya adalah menjamin kualitas rekrutmen profesi advokat.

“Advokat merupakan profesi yang terhormat, yang seharusnya dalam prosesnya ada kualifikasi yang ketat mulai dari kompetensi dan pengawasan kode etik, sehingga tidak sembarang orang dapat masuk,” kata Tjoetjoe menjelaskan posisinya soal rekrutmen advokat (hal.9).

Ia menilai praktik sistem multi bar yang berjalan tidak diiringi kejelasan standar profesi advokat yang berkualitas dalam rekrutmen. “Banyaknya organisasi advokat yang ada maka seleksi dan rekrutmen pun bermacam-macam dan tidak jarang berujung pada berkembangnya penyimpangan rekrutmen advokat baru,” kata Tjoetjoe (hal.10-11).

Tags:

Berita Terkait