Wakil Ketua MA Non-Yudisial: “Kami Ingin Bersanding, Bukan Bertanding”
Hubungan Antarlembaga:

Wakil Ketua MA Non-Yudisial: “Kami Ingin Bersanding, Bukan Bertanding”

Petinggi Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung singgung sinergitas kedua lembaga. Kewenangan yang sulit dijalankan, seperti upaya paksa terhadap saksi, perlu dibahas dan dikaji ulang.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit

Dalam konteks itu pula seyogianya Komisi Yudisial hadir, ikut bersama-sama Mahkamah Agung melakukan pengawasan, baik pengawasan preemptive dan preventif maupun pengawasan represif. Dalam rangka menjalankan pengawasan itu, Sunarto berharap Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung saling menghormati, saling mengkritisi, dan saling berbagi informasi berdasarkan asas keterbukaan. “Komunikasi harus ditumbuhkembangkan dalam bentuk apapun,” imbuhnya.

Harapan Anggota DPR

Senada, anggota Komisi III DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, berharap Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung duduk bersama membahas hal-hal yang selama ini menjadi batu sandungan dalam hubungan kedua lembaga. Jika perlu, duduk bersama dilakukan dengan Komisi III DPR sebagai minta kerja Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu berharap Komisi Yudisial juga menjalankan tupoksinya dengan kuat agar pengawas eksternal hakim ini benar-benar ‘sakti’ sesuai tema rapat kerja. Salah satu yang perlu dilakukan adalah penguatan struktur organisasi Komisi Yudisial. Dukungan anggaran juga penting agar Komisi Yudisial dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik.

Namun demikian, Cucun Ahmad Syamsurijal membuat sejumlah catatan yang perlu mendapat perhatian Komisi Yudisial dalam rangka penguatan kelembagaan dan sinergitas. Catatan ini dapat disebut sebagai bagian dari persoalan yang selama ini sering mencuat ke permukaan. Pertama, narasi bahwa Komisi Yudisial dipandang sebagai kompetitor bagi Mahkamah Agung. Untuk menghilangkan narasi ini, Cucun menyarankan Komisi Yudisial duduk bersama dan sering menjalin komunikasi.

Kedua, perlu membahas dan mengkaji ulang ketentuan mengenai pemanggilan paksa. Pasal 22 A UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, mengatur kewenangan Komisi Yudisial memanggil dan meminta keterangan saksi. Apabila saksi tidak memenuhi panggilan tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, maka Komisi Yudisial dapat memanggil secara paksa sesuai ketentuan perundang-undangan. Di lapangan, ketentuan ini menimbulkan masalah karena keengganan aparat penegak hukum ‘membantu’ pemanggilan paksa. Cucun menduga agak berat bagi kepolisian menjalankan upaya paksa itu karena yang diproses Komisi Yudisial bukanlah tindak pidana, melainkan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH).

Ketiga, belum berjalannya ketentuan penyadapan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 18 Tahun 2011. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran KEPPH oleh hakim. Menurut Cucun, ketentuan penyadapan masih harus menunggu RUU Penyadapan yang sampai saat ini belum dibahas meskipun masuk Prolegnas jangka panjang. Namun, yang tak kalah penting untuk diperhatikan Komisi Yudisial, adalah perkembangan dunia elektronik yang mempengaruhi banyak sektor kehidupan. Pengawasan menggunakan sarana elektronik, termasuk mengawasi sidang-sidang yang digelar secara daring, merupakan tantangan bagi Komisi Yudisial.

Keempat, usulan penjatuhan sanksi dari Komisi Yudisial. Selama ini tidak semua rekomendasi penjatuhan sanksi dari Komisi Yudisial dijalankan oleh Mahkamah Agung. Dalam konteks ini, anggota Komisi III DPR itu berharap Komisi Yudisial duduk satu meja dengan Mahkamah Agung agar ada kesepahaman dalam penjatuhan sanksi. Kedua lembaga harus sering menjalin komunikasi agar ke depan sinergitas terjallin dan terjaga dengan baik.

Tags:

Berita Terkait