Walhi: Pemerintah Harus Menyusun Ulang Kebijakan Pemulihan Lingkungan
Terbaru

Walhi: Pemerintah Harus Menyusun Ulang Kebijakan Pemulihan Lingkungan

Negara harus berani memaksa korporasi untuk bertanggung jawab atas kerusakan dan kontribusinya terhadap krisis iklim disertai memulihkan kerusakan yang telah mereka lakukan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Conference of the Parties (COP) 26 berlangsung di Glasgow Inggris dipandang belum mengarah pada track yang tepat untuk memenuhi target menjaga suhu bumi agar tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius. Mekanisme perdagangan karbon dan offset emisi atau mengimbangi emisi yang dihasilkan di satu tempat dengan pengurangan emisi di tempat lain dinilai merupakan solusi palsu.

“Perdagangan karbon dan offset emisi tidak lebih dari sekedar perampasan ruang hidup rakyat dengan kedok hijau serta menjadi skema green washing bagi korporasi perusak lingkungan,” ujar  Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi melalui keterangan tertulisnya, Jumat (5/11/2021).

Dia mengatakan skema perdagangan karbon dan offset emisi merupakan skema keliru karena tak efektif mengurangi emisi secara drastis dan cepat serta tidak menjadikan rakyat sebagai subyek, bakal memperluas konflik, perampasan tanah dan memperuncing ketidakadilan. Celakanya, skema tersebut didorong Indonesia sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di COP 26 tersebut.  

Baginya, langkah keliru itu bakal memberi ruang bagi negara utara dan korporasi untuk mengelak dari tanggung jawab penurunan emisi di negara mereka sendiri dengan cara menghentikan penggunaan energi fosil dan moda produksi dan komsumsi yang tinggi emisi karbon. Sebagai negara kepulauan yang memiliki hutan tropis nomor tiga terluas di dunia, Indonesia seharusnya mengambil kepemimpinan perundingan iklim untuk mencagah krisis iklim

“Karena sebagai bangsa, Indonesia yang akan paling menderita oleh perubahan iklim. Presiden selalu menjanjikan kemajuan bagi bangsa ini, tapi dalam perundingan-perundingan Internasional cenderung mengekor,” kritiknya.

Selain itu, Indonesia dituntut untuk menghentikan penggunaan energi kotor batubara. Pemerintah Indonesia turut berkomitmen dan menyetujui poin-poin kesepakatan yang tertuang dalam Global Coal to Clean Power Transition Statement. Namun sangat disayangkan, Indonesia enggan berkomitmen menghentikan izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru sebagaimana tertuang dalam poin ketiga deklarasi tersebut.

Karena itu, kata Zenzi, Pemerintah Indonesia harus melakukan kajian dan merumuskan kembali kebijakan memulihkan lingkungan secara nasional. Termasuk memulihkan hak-hak rakyat di bidang lingkungan. “Pemerintah harus menyusun ulang kebijakannya dan mengambil fokus pada semangat pemulihan lingkungan dan hak rakyat,” harapnya.

Menurut Zenzi, jalan terbaik dari aksi penyelamatan iklim dengan cara mengakui, menghormati dan melindungi hak, nilai dan praktik-praktik yang dilakukan rakyat dalam menjaga hutannya. Dia menilai, negara harus berani memaksa korporasi untuk bertanggung jawab atas kerusakan dan kontribusinya terhadap krisis iklim disertai memulihkan kerusakan yang telah mereka lakukan. Bahkan, negara harus berani mengoreksi dan mengubah kebijakan yang meletakan investasi sebagai tujuan utama di atas keselamatan rakyat dan lingkungan hidup.

Terhadap dorongan itu, Walhi pun telah menggelar aksi menuntut keadilan iklim dan perlawanan atas sikap dan pilihan pemerintah yang tidak berpihak pada keselamatan rakyat, khususnya di sektor lingkungan hidup dengan menjamin adanya solusi berdasarkan keadilan iklim. Aksi ini merupakan bagian dari aksi global untuk menuntut keadilan iklim dan aksi perlawanan atas sikap dan pilihan pengurus negara yang tidak berpihak pada keselamatan rakyat dan lingkungan hidup dengan menjamin adanya solusi berdasarkan keadilan iklim.

“Aksi nasional Ini juga dilakukan serentak oleh Eksekutif Daerah WALHI di 28 provinsi di Indonesia selama dua hari, 5-6 November 2021,” katanya.

Terpisah, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan (LHK) Alue Dohong mengatakan dalam COP 26 di Glasgow Inggris mengatakan paviliun Indonesia dalam hajatan besar itu mengambil tema “Indonesia Forest and Other Use (FoLU) Net Carbon Sink 2030” (penurunan emisi gas rumah kaca sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya). Menurutnya, paviliun Indonesia berfungsi sebagai soft diplomacy bersamaan dengan hard diplomacy meja perundingan di gelaran COP- 26 UNFCCC, Glasgow.

Menurutnya, soft diplomacy di paviliun Indonesia menyuarakan tindakan, strategi, dan inovasi Indonesia kepada dunia internasional berupa aksi-aksi iklim Indonesia dalam mencegah peningkatan suhu global di bawah 1,5 derajat Celcius. Melalui paviliun Indonesia bakal disebarkan informasi yang konstruktif dan integratif tentang program pengendalian perubahan iklim oleh pemerintah Indonesia bekerja sama dengan sejumlah pihak, termasuk menjabarkannya dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat global.

“Penyelenggaraan paviliun Indonesia ini disebutnya juga dalam rangka membuka peluang bagi para pihak dalam lingkup global untuk menggali ide, peluang, dan jejaring upaya penguatan perubahan iklim di Indonesia,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman KLH.

Dia melanjutkan Indonesia telah membuktikan komitmen nyatanya dalam pengendalian perubahan iklim. Sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia, Indonesia telah menunjukkan kepada dunia bisa menekan angka deforestasi ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Bahkan, kata Alue, Indonesia telah merehabilitasi 3 juta hektar lahan kritis pada 2010-2019.

Untuk itu, dalam gelaran COP 26 Indonesia meningkatkan ambisi iklimnya dengan targetkan Net Sink Carbon untuk sektor lahan dan hutan selambat-lambatnya tahun 2030 dan “Net Zero” di tahun 2060 atau lebih cepat. “Indonesia siap untuk mengambil tindakan lebih jauh dan lebih berani untuk bumi kita,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait