YLBHI Sebut 4 Bentuk Serangan Terhadap Pembela HAM
Kaleidoskop 2021

YLBHI Sebut 4 Bentuk Serangan Terhadap Pembela HAM

Selama 2021, YLBHI mencatat 48 kasus serangan terhadap Pembela HAM. Bentuk serangan yang dialami korban meliputi kriminalisasi, teror bom, intimidasi, dan penyiksaan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Jajaran pengurus YLBHI dalam konferensi pers catatan akhir tahun, Jumat (31/12/2021). Foto: ADY
Jajaran pengurus YLBHI dalam konferensi pers catatan akhir tahun, Jumat (31/12/2021). Foto: ADY

Berbagai macam peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2021, antara lain berkaitan dengan persoalan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM. Kerja-kerja pembela HAM sangat dibutuhkan untuk mengawal terwujudnya hal tersebut. Tapi ternyata tidak mudah bagi pembela HAM untuk melaksanakan tugas tersebut.

Ketua Umum YLBHI periode 2022-2026, Muhammad Isnur, mengatakan ancaman terhadap pemberi bantuan hukum (PBH) dan pembela HAM banyak terjadi di tahun 2021. Dia mencatat selama 2021, ada 8 orang PBH ditangkap yang berasal dari LBH Jakarta (3 orang), LBH Semarang (1 orang), LBH Manado (2 orang), LBH dan Yogyakarta (2 orang). Ancaman kriminalisasi juga dialami direktur LBH Bali dan Padang.

Serangan terhadap pembela HAM ada 48 kasus meliputi LBH Jakarta (18 kasus), LBH Semarang (15 kasus), LBH Palembang (9 kasus), LBH Papua (3 kasus), LBH Surabaya (2 kasus) dan LBH Bandung (1 kasus). “Bentuk serangan terhadap pembela HAM cukup beragam yang intinya bertujuan untuk membungkam atau menghalang-halangi para pembela HAM dalam bekerja,” kata Muhammad Isnur dalam konferensi pers secara daring bertajuk “Laporan Hukum dan HAM YLBHI 2021,” Jumat (31/12/2021) lalu. (Baca Juga: Situasi HAM Makin Buruk, YLBHI Soroti 5 Kebijakan Ini)

Dia menerangkan bentuk serangan terhadap pembela hal mencakup 4 jenis. Pertama, kriminalisasi 44 kasus. Kedua, intimidasi 18 kasus. Ketiga, teror bom 2 kasus. Keempat, penyiksaan 1 kasus. Kriminalisasi merupakan modus ini paling banyak digunakan untuk menyerang pembela HAM. Selain bertujuan untuk membungkam kritik, kriminalisasi juga dilakukan sebagai serangan balik terhadap pembela HAM. Seperti yang menimpa aktivis anti korupsi yang mengungkap dugaan korupsi pejabat atau aktivis lingkungan yang mengungkap kejahatan lingkungan dan korupsi, dan aktivis buruh yang memperjuangkan hak-haknya.

Intimidasi sering dialami pembela HAM yang melakukan tugas dalam bentuk fisik maupun psikis. Misalnya, intimidasi yang dialami PBH ketika menjalankan tugas sebagai pendamping hukum masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi atau masyarakat korban pelanggaran HAM.

Isnur menyebut teror adalah cara yang dilakukan untuk menyerang pembela HAM ketika secara personal tidak dapat dijangkau untuk dikriminalisasi atau diintimidasi. Teror biasanya ditujukan kepada keluarga pembela HAM atau kantornya, seperti yang dialami keluarga Veronika Koman dan kantor LBH Yogyakarta.

189 kasus kekerasan

Selain itu, selama 2021 seluruh LBH menangani 189 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pengurus YLBHI lainnya, Zainal, mengatakan kasus paling tinggi ditangani LBH Makassar (90 kasus), LBH Jakarta (57 kasus), LBH Surabaya (15 kasus), LBH Padang (8 kasus), LBH Banda Aceh (6 kasus), LBH Lampung 4 kasus, LBH Medan dan Semarang masing-masing 3 kasus, LBH Bandung dan Yogyakarta masing-masing 1 kasus.

Bentuk kekerasan seksual antara lain percobaan atau upaya pemerkosaan, kekerasan berbasis gender secara online, pelecehan, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pembuatan video, pemerasan, kekerasan fisik dan psikis, serta gang rape. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bentuknya penelantaran rumah tangga, kekerasan fisik, menikah tanpa izin istri, kekerasan psikis, eksploitasi anak, dan kekerasan fisik terhadap anak.

“Dari 189 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, kami menemukan proses hukum itu tidak berpihak pada korban,” kata Zainal.

Selain hukum tidak berpihak pada korban, Zainal menyebut korban juga minim mengakses ruang aman. Tantangan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yakni korban tidak berani untuk berbicara. Zainal menyoroti beberapa kasus, seperti 3 anak korban pemerkosaan di Luwu Timur; Polrestabes Makassar memfasilitasi pencabutan laporan polisi di 2 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan disabilitas.   

Restorative justice digunakan sebagai dalih mencabut berkas laporan polisi.”

Zainal juga menyoroti rendahnya hukuman pada terdakwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Misalnya, pelaku KDRT yang merupakan komisioner KPID Jawa Tengah hanya mendapat tuntutan dan vonis yang rendah hanya 4 bulan penjara. Dari berbagai kasus yang ditangani LBH, dapat disimpulkan korban kekerasan terhadap perempuan sulit mendapatkan keadilan melalui proses hukum yang adil.  

Oleh karena itu, Zainal mengusulkan pemerintah dan DPR untuk mempercepat pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). RUU itu penting dan relevan terus didorong untuk memudahkan korban mendapat keadilan “Selain itu penting juga memastikan penegakan hukum memiliki perspektif pada perlindungan terhadap korban,” katanya.

Tags:

Berita Terkait