KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apakah Indonesia Wajib Melindungi Pengungsi Rohingya?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Apakah Indonesia Wajib Melindungi Pengungsi Rohingya?

Apakah Indonesia Wajib Melindungi Pengungsi Rohingya?
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Apakah Indonesia Wajib Melindungi Pengungsi Rohingya?

PERTANYAAN

Berdasarkan berita yang beredar, pengungsi Rohingya di Indonesia saat ini mencapai 1.478 orang. Padahal, Indonesia tidak terikat dengan konvensi internasional soal pengungsi. Lantas, kenapa Indonesia tidak ratifikasi Konvensi 1951 tentang pengungsi? Apa dasar hukum pengungsi di Indonesia? Apa itu UNHCR, dan apakah Indonesia wajib melindungi pengungsi Rohingya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada intinya, etnis Rohingya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari pemerintahan Myanmar, mereka melarikan diri dan mengungsi ke negara-negara tetangga, salah satunya Indonesia. Namun di sisi lain, Indonesia belum menjadi negara pihak Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi.

    Lantas, apa alasan Indonesia tidak ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967? Lalu, karena Indonesia bukan negara pihak konvensi tersebut, apakah Indonesia wajib melindungi pengungsi Rohingya di Indonesia?

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih untuk pertanyaan Anda.

     

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Kasus Perdagangan Orang di NTT, Melanggar HAM?

    Kasus Perdagangan Orang di NTT, Melanggar HAM?

     

    Selayang Pandang Kasus Rohingya

    Konflik agama di Myanmar antara Islam dan Buddha, dikenal dengan konflik etnis Rohingya dan Rakhine. Meskipun konflik terjadi di internal Myanmar, konflik ini membawa dampak bagi dunia internasional terutama negara-negara yang berdekatan dengan Myanmar seperti Indonesia, Malaysia dan Bangladesh.[1]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Di negara bagian Rakhine, Myanmar, terdapat lebih dari 1 juta orang Rohingya yang sebagian besar merupakan kelompok etnis Muslim yang sudah turun-temurun hidup di wilayah tersebut. Di sisi lain, sebagian besar penduduk Myanmar adalah penganut agama Buddha.[2] Awal pemicu konflik kekerasan etnis Rohingya terjadi pada bulan Juli tahun 2012 dan terus menjadi perbincangan dunia internasional hingga sekarang.[3] Etnis Rohingya mengungkapkan bahwa mereka telah diperlakukan dengan buruk oleh pemerintah dan militer Myanmar selama bertahun-tahun, sementara pemerintah Myanmar menyatakan bahwa orang-orang Rohingya adalah imigran gelap dari Bangladesh yang tidak memiliki tempat di Myanmar. Oleh karena itu, pemerintah tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Mereka tidak bisa mendapatkan perawatan medis, sekolah, dan layanan dasar yang sama. Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”) bahkan menggambarkan etnis Rohingya sebagai salah satu populasi yang paling teraniaya di dunia (the most persecuted minority in the world).[4]

    Kejadian tersebut menyebabkan terjadinya pemberontakan dan perlawanan hingga perlakuan tindakan kekerasan yang terdiri dari pembunuhan, penyiksaan, pembakaran rumah dan pemaksaan untuk meninggalkan tempat tinggal etnis Rohingya. Sehingga dapat dikatakan, tindakan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”). Lalu, karena etnis Rohingya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari pemerintahan Myanmar, mereka melarikan diri dan mengungsi ke negara-negara tetangga.[5]

     

    Apa itu Pengungsi?

    Pada dasarnya, pengungsi adalah orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut yang berdasar dan mengalami penindasan (persecution).[6] Dalam arti lain, pengungsi adalah individu atau sekelompok individu yang mencari bantuan berupa perlindungan dan suaka dari negara.[7]

    Dalam hukum internasional, definisi pengungsi diatur dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Secara singkat, menurut Konvensi 1951, pengertian pengungsi adalah:[8]

    Pengungsi adalah individu atau sekelompok individu dari peristiwa yang disebabkan oleh kecemasan yang sungguh-sungguh berdasarkan persekusi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu, atau seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara di mana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang termasuk, tidak dapat, atau karena kecemasan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu.

     

    Dasar Hukum Pengungsi di Indonesia

    Indonesia memiliki hukum positif yang mengatur tentang penanganan pengungsi dari luar negeri. Menurut Pasal 3 Perpres 125/2016, penanganan pengungsi memperhatikan ketentuan internasional yang berlaku umum dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu, penanganan pengungsi dikoordinasikan oleh Menteri Polhukam,[9] yang dilakukan dalam rangka perumusan kebijakan, meliputi:[10]

    1. penemuan;
    2. penampungan;
    3. pengamanan; dan
    4. pengawasan keimigrasian.

    Selain itu, Indonesia juga memiliki ketentuan yang mengatur tentang pemberian suaka dan pengungsi. Dalam Pasal 26 UU 37/1999 disebutkan bahwa pemberian suaka kepada orang asing dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional dan dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktik internasional.

    Walaupun Indonesia memiliki hukum positif tentang pengungsi, berdasarkan laman UNHCR, Indonesia belum menjadi negara pihak Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Lantas, mengapa Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967?

     

    Alasan Indonesia Tidak Ratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi

    Pertama, perlu diketahui bahwa jika Indonesia menjadi negara pihak dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967, maka Indonesia harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur pada pada Konvensi 1967, misalnya:

    1. Pasal 4 (kebebasan beragama);
    2. Pasal 17 (hak untuk bekerja dan menerima upah);
    3. Pasal 21 (hak untuk memiliki rumah);
    4. Pasal 22 (hak untuk mendapatkan pendidikan); dan lain-lain.

    Secara yuridis, bagi Indonesia ada beberapa pasal dalam konvensi yang dinilai sulit untuk dilaksanakan. Sebagai contoh, Pasal 17 Konvensi 1951 menuntut negara pihak untuk memberi pekerjaan bagi para pengungsi. Di sisi lain, Indonesia adalah negara berkembang dan masih memiliki angka pengangguran yang cenderung tinggi.

    Kemudian, dalam Pasal 21 Konvensi 1951 terdapat ketentuan untuk memberikan rumah bagi para pengungsi, padahal masih terdapat angka kemiskinan di Indonesia. Selain itu, terdapat daerah-daerah di Indonesia yang membutuhkan infrastruktur yang layak dari pemerintah pusat.

    Lebih lanjut, terdapat ketentuan lain dari beberapa pasal Konvensi 1951 yang jika  dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, berpotensi menimbulkan kesenjangan bagi masyarakat Indonesia. Ketentuan tersebut ada pada Pasal 22 dan Pasal 4 Konvensi 1951.[11]

    Maka menurut hemat kami, alasan pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 dirasa karena adanya kepentingan nasional yang akan sulit tercapai apabila pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967.

    Kedua, pada dasarnya hukum internasional menjunjung tinggi prinsip non-intervensi (non-intervention) dan kesepakatan negara (consent).[12] Menurut Malcolm N. Shaw, suatu negara tidak diperbolehkan untuk mengintervensi hal yang pada pokoknya termasuk dalam urusan atau permasalahan dalam negeri negara lain. Setiap negara diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri urusan atau permasalahan tersebut secara bebas tanpa campur tangan dari pihak manapun di atas prinsip kedaulatan. Urusan atau permasalahan tersebut misalnya menyangkut penentuan sistem politik, ekonomi, sosial, sistem budaya dan sistem kebijakan luar negeri suatu negara.[13]

    Ketiga, menurut Sefriani, dalam hukum internasional tidak ada badan supranasional yang memiliki otoritas membuat dan memaksakan suatu aturan internasional.[14] Dengan demikian, menurut hemat kami tidak ada negara yang berhak memaksa Indonesia untuk meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967.

    Walau demikian, sebagai informasi, semua negara termasuk yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 wajib menjunjung tinggi standar perlindungan pengungsi yang telah menjadi bagian dari hukum internasional umum, karena konvensi tersebut sudah menjadi jus cogens (norma hukum internasional umum yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan)[15] dan tidak seorang pengungsi pun dapat dikembalikan ke wilayah di mana hidup atau kebebasannya terancam.[16]

     

    Apa itu UNHCR?

    Menjawab pertanyaan Anda mengenai apa itu UNHCR, pada intinya, United Nations High Commissioner for Refugees (“UNHCR”) merupakan sebuah badan pengungsi dunia yang diberi mandat oleh PBB untuk melindungi pengungsi dan membantu pengungsi mencari solusi bagi keadaan buruk para pengungsi internasional.[17]

    Disarikan dari UNHCR Indonesia, walaupun Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi 1951 dan Protokol 1967, serta belum memiliki sebuah sistem penentuan status pengungsi, pemerintah memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia.

    Perlindungan yang diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan pencari suaka terlindung dari refoulement (perlindungan dari pemulangan kembali secara paksa ke tempat asal mereka di mana hidup atau kebebasan mereka terancam bahaya atau penganiayaan). Perlindungan pengungsi lebih jauh mencakup proses verifikasi identitas pencari suaka dan pengungsi agar mereka dapat terdaftar dan dokumentasi individual dapat dikeluarkan.

    Berkaitan dengan kasus pengungsi Rohingya di Indonesia, UNHCR Indonesia membantu pemerintah dalam menangani masalah pengungsi dan membantu mencari solusi bagi pengungsi. Selama pengungsi Rohingya tinggal di Indonesia, UNHCR berkoordinasi dengan pihak berwenang untuk memastikan kebutuhan pengungsi terpenuhi dan mereka dapat hidup bermartabat.[18]

     

    Sikap Indonesia terhadap Pengungsi Rohingya

    Menjawab pertanyaan Anda mengenai sikap Indonesia terhadap pengungsi Rohingya, sebagaimana dijelaskan dalam Pengungsi Rohingya Dipermasalahkan, PAHAM FH Unpad Ingatkan Mandat UUD 1945, menurut Atip Latipulhayat, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Padjadjaran, pemerintah Indonesia harus menangani pengungsi Rohingya sesuai dengan prinsip kemanusiaan, instrumen hukum internasional, dan Perpres 125/2016. Selain itu, berdasarkan penelusuran kami, Indonesia juga memiliki ideologi Pancasila yang didasari oleh semangat kemanusiaan.[19]

    Walau demikian, menurut Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, dalam menangani pengungsi Rohingya, pemerintah Indonesia harus mengutamakan pertimbangan kepentingan nasional. Selain itu, harus ada ketegasan sikap soal pembatasan jumlah pengungsi yang ditampung dan masa tinggal sementara. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Profesor Hukum Internasional UI Koreksi PAHAM FH Unpad Soal Pengungsi Rohingya.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;
    2. Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri;
    3. 1951 Convention and 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees.

     

    Referensi:

    1. Ayub Torry Satriyo Kusumo. Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi Internasional. Jurnal Yustisia, Vol. 1, No. 2, 2012;
    2. Fadli Afriandi dan Yusnarida Eka Nizmi. Kepentingan Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 Mengenai Pengungsi Internasional dan Pencari Suaka. Jurnal Transnasional, Vol. 5, No. 2, 2014;
    3. Joko Setiyono. Kontribusi UNHCR dalam Penanganan Pengungsi Internasional di Indonesia. Jurnal Masalah - Masalah Hukum, Vol. 46, No. 3, 2017;
    4. M. Angela Merici Siba dan Anggi Nurul Qomari’ah. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Konflik Rohingya. Islamic World and Politics Journal. Vol. 2, No. 2, 2018;
    5. Malcolm N. Shaw. International Law. UK: Cambridge University Press, 1991;
    6. Muhammad Abdul Aziz Putra Andistan. Indonesian Government Challenges in Ratification of the International Convention on Refugees. JISIERA: The Journal of Islamic Studies and International Relations. Vol. 3, 2018;
    7. Renata Christha Auli dan Garry Gumelar Pratama. The Failure of United Nations System under International Law: Its Contribution to Calamity and Ruin of the Rohingya Case. Padjadjaran Journal of International Law, Vol. 4, No. 2, 2021;
    8. Samuel Tunggul Jovano dan Cornelius Agatha Gea. Penanganan Pengungsi yang Bunuh Diri di Indonesia Berdasarkan Perspektif Hukum Keimigrasian. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 15, No. 3, 2021;
    9. Sefriani. Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspektif Filsafat Hukum. Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 18, 2011;
    10. Sigit Riyanto. Kedaulatan Negara dalam Kerangka Hukum Internasional Kontemporer. Jurnal Yustisia, Vol. 1, No. 3, 2012;
    11. Virgayani Fattah. Hak Asasi Manusia Sebagai Jus Cogens dan Kaitannya dengan Hak Atas Pendidikan. Jurnal Yuridika, Vol. 32, No. 2, 2017;
    12. Yahya Sultoni (et.al). Alasan Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi dan Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi di Indonesia. Brawijaya Law Student Journal, 2014;
    13. 14 Fakta Mengenai Pengungsi Rohingya, UNHCR Indonesia, yang diakses pada Kamis, 7 Desember 2023, pukul 01.24 WIB;
    14. States Parties to the 1951 Convention and its 1967 Protocol, UNHCR, yang diakses pada Rabu, 6 Desember 2023, pukul 19.21 WIB;
    15. UNHCR Indonesia, yang diakses pada Rabu, 6 Desember 2023, pukul 21.15 WIB.

    [1] M. Angela Merici Siba dan Anggi Nurul Qomari’ah. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Konflik Rohingya. Islamic World and Politics Journal. Vol. 2, No. 2, 2018, hal. 369

    [2] Renata Christha Auli dan Garry Gumelar Pratama. The Failure of United Nations System under International Law: Its Contribution to Calamity and Ruin of the Rohingya Case. Padjadjaran Journal of International Law, Vol. 4, No. 2, 2021, hal. 267

    [3] M. Angela Merici Siba dan Anggi Nurul Qomari’ah. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Konflik Rohingya. Islamic World and Politics Journal. Vol. 2, No. 2, 2018, hal. 369

    [4] Renata Christha Auli dan Garry Gumelar Pratama. The Failure of United Nations System under International Law: Its Contribution to Calamity and Ruin of the Rohingya Case. Padjadjaran Journal of International Law, Vol. 4, No. 2, 2021, hal. 267

    [5] M. Angela Merici Siba dan Anggi Nurul Qomari’ah. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Konflik Rohingya. Islamic World and Politics Journal. Vol. 2, No. 2, 2018, hal. 369

    [6] Ayub Torry Satriyo Kusumo. Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi Internasional. Jurnal Yustisia, Vol. 1, No. 2, 2012, hal. 171

    [7] Samuel Tunggul Jovano dan Cornelius Agatha Gea. Penanganan Pengungsi yang Bunuh Diri di Indonesia Berdasarkan Perspektif Hukum Keimigrasian. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 15, No. 3, 2021, hal. 362

    [8] Samuel Tunggul Jovano dan Cornelius Agatha Gea. Penanganan Pengungsi yang Bunuh Diri di Indonesia Berdasarkan Perspektif Hukum Keimigrasian. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 15, No. 3, 2021, hal. 362

    [9] Pasal 4 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri (“Perpres 125/2016”)

    [10] Pasal 4 ayat (2) Perpres 125/2016

    [11] Yahya Sultoni (et.al). Alasan Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi 1951 Tentang Pengungsi dan Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi di Indonesia. Brawijaya Law Student Journal, 2014, hal. 8

    [12] Sigit Riyanto. Kedaulatan Negara dalam Kerangka Hukum Internasional Kontemporer. Jurnal Yustisia, Vol. 1, No. 3, 2012, hal. 8

    [13] Malcolm N. Shaw. International Law. UK: Cambridge University Press, 1991, hal. 719

    [14] Sefriani. Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspektif Filsafat Hukum. Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 18, 2011, hal. 412

    [15] Virgayani Fattah. Hak Asasi Manusia Sebagai Jus Cogens dan Kaitannya dengan Hak Atas Pendidikan. Jurnal Yuridika, Vol. 32, No. 2, 2017, hal. 355

    [16] Fadli Afriandi dan Yusnarida Eka Nizmi. Kepentingan Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 Mengenai Pengungsi Internasional dan Pencari Suaka. Jurnal Transnasional, Vol. 5, No. 2, 2014, hal. 1096

    [17] Joko Setiyono. Kontribusi UNHCR dalam Penanganan Pengungsi Internasional di Indonesia. Jurnal Masalah - Masalah Hukum,, Vol. 46, No. 3, 2017, hal. 280

    [18] 14 Fakta Mengenai Pengungsi Rohingya, UNHCR Indonesia, yang diakses pada Kamis, 7 Desember 2023, pukul 01.24 WIB

    [19] Muhammad Abdul Aziz Putra Andistan. Indonesian Government Challenges in Ratification of the International Convention on Refugees. JISIERA: The Journal of Islamic Studies and International Relations. Vol. 3, 2018, hal. 34

    Tags

    pengungsi
    hak asasi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA

    17 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!