KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Indonesia Sebagai Playmaker dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Indonesia Sebagai Playmaker dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan

Indonesia Sebagai <i>Playmaker</i> dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan
Bebeb A.K. Nugraha DjundjunanSeleb Jurist
Seleb Jurist
Bacaan 10 Menit
Indonesia Sebagai <i>Playmaker</i> dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan

PERTANYAAN

Ketegangan di Laut China Selatan (“LCS”) kembali terjadi akhir-akhir ini, saat kapal China menembakkan meriam air ke kapal Filipina di tahun 2023. Bentrokan kapal China dan Filipina menunjukkan adanya cedera serius hingga potensi mengakibatkan kematian.

Lantas, sebagai salah satu negara yang berbatasan dengan LCS, bagaimana posisi Indonesia dalam konflik LCS? Apakah Indonesia memiliki hak atas Zona Ekonomi Eksklusif di LCS? Bagaimana penyelesaian sengketa LCS menurut Hukum Internasional?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    UNCLOS 1982 telah memberikan guidelines, forum, dan format untuk menjembatani penyelesaian sengketa batas wilayah dan/atau fitur maritim yang saling tumpang tindih, termasuk kawasan Laut China Selatan (ā€œLCSā€) yang di klaim Brunei, China, Filipina, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.

    Indonesia bukan negara yang mengklaim kawasan tersebut, tetapi peran Indonesia menjadi penting dalam proses penyelesaian konflik ini. Sebagai negara pihak UNCLOS 1982, Indonesia memiliki peran untuk mendorong penggunaan mekanisme proses yang tersurat didalamnya. Peran Indonesia dapat dilakukan melalui pendekatan bilateral, geo-politik kawasan, dan mendorong proses mediasi/arbitrase internasional.

    Selain itu, Indonesia perlu mengedepankan pelaksanaan atas dua prinsip kebijakan untuk pendekatan utama dalam menyikapi konflik. Pertama, memastikan keberadaan dan kehadiran secara fisik simbol negara oleh aparat non-militer Indonesia di kawasan. Kedua, melalui ā€œpeaceful means through dialogue and negotiationā€.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata ā€“ mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatĀ Pernyataan PenyangkalanĀ selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganĀ Konsultan Mitra Justika.

    Selayang Pandang Konflik Laut China Selatan

    Konflik di kawasan South China Sea atau Laut China Selatan (ā€œLCSā€) muncul karena terdapat multi-interpretasi klaim ā€œhak fiksi/mayaā€ oleh satu negara pantai atau lebih terhadap hak kepemilikan atas suatu kawasan/fitur di dalam wilayah maritim tertentu. Terjadinya tumpang tindih klaim dan kepentingan atas wilayah tersebut dan bersikukuhnya negara pengklaim LCS, serta terkait jenis mekanisme yang bisa menyelesaikan konflik ini menjadi kompleks dan rumit. Adapun konsekuensi dari multitafsir tersebut adalah:

    1. kepentingan nasional dengan subjek dan sumber hukum internasional yang diterapkan, khususnya dalam memastikan bahwa klaim masing-masing negara di kawasan tersebut telah sesuai dengan praktik kelaziman hukum internasional, menjadi saling berbeda di antara para negara pengklaim;
    2. terkait proses mekanisme penyelesaian sengketa yang disediakan oleh hukum internasional melalui mediasi dan/atau arbitrase, permasalahan yang muncul dan bereskalasi konflik terbuka antar negara dapat teratasi sejauh negara-negara dimaksud mengesampingkan pendekatan kepentingan nasional dengan tujuan terciptanya penyelesaian atau penghindaran potensi eskalasi konflik tersebut.

    Jika melihat latar belakang konflik yang terjadi saat ini di kawasan Laut China Selatan, inti permasalahannya adalah telah terjadi saling klaim kepemilikan atas beberapa fitur pulau-pulau kecil, terumbu karang dan pulau karang, yang seluruhnya tidak berpenghuni, dan hanya dua pulau utama yang menjadi perhatian beberapa negara pantai sekitarnya, yaitu Pulau Spratly dan gugusan Pulau Paracel yang saling tumpang tindih.

    Dalam kawasan Laut China Selatan, khususnya di antara gugusan pulau-pulau dan terumbu karang terdapat kandungan cadangan minyak dan gas bumi yang cukup besar. Selain itu, kawasan LCS juga menjadi sangat strategis ditinjau dari sisi jalur transportasi untuk pelayaran internasional, khususnya untuk angkutan minyak bumi dan gas yang menyambungkan dua samudera, yaitu Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik. Sehingga konsekuensinya, jalur yang menyambungkan dua samudera ini menjadi inti dari kepentingan negara-negara di kawasan LCS dan/atau penggunanya yang akan memastikan bahwa pasokan energi dimaksud dapat berlangsung tanpa hambatan.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Selanjutnya, pada dasarnya terdapat empat negara pengklaim yang paling gencar dalam menempatkan posisi klaimnya di LCS, antara lain China, Filipina, Malaysia dan Vietnam. Keempat negara tersebut secara khusus juga menggunakan hak mereka untuk mengklaim wilayah maritimnya (Zona Ekonomi Eksklusif/ ā€œZEEā€) sesuai hak yang diberikan dan pengaturannya berdasarkan UNCLOS 1982. Kompleksitas klaim inilah yang kemudian memunculkan karakter khusus permasalahan di Laut China Selatan menjadi ā€œfiksionalā€ jika mengkombinasikan antara hak negara pantai sesuai ketentuan hukum internasional dalam UNCLOS 1982 yang dipadukan dengan interpretasi negara-negara dalam pusaran konflik sesuai kepentingan nasionalnya. Adapun kepentingan nasional tersebut berkaitan dengan penguatan keamanan ekonomi (energi) dan kedaulatan wilayah.

    Baca juga: Batas Zona Maritim dan Penyelesaian Sengketa Hukum Laut Internasional

    Dari perkembangan penanganan konflik ini, sangat sedikit upaya negara-negara untuk menghindari konflik yang muncul, sehingga konflik menjadi berkepanjangan disertai fakta-fakta yang menjurus pada terjadinya eskalasi konflik terbuka. Selain itu, permasalahan menjadi lebih rumit karena ada perbedaan dan multitafsir oleh masing-masing negara yang terlibat dan memiliki kepentingan sepihak.

    Dengan demikian, permasalahan utama potensi konflik di Laut China Selatan pada intinya adalah:

    1. terjadinya multi-interpretasi hak dan klaim oleh beberapa negara yang saling bertumpang tindih, karena telah melibatkan beberapa faktor kepentingan yang meluas dan interaksi negara-negara yang menjadi pemicunya, yakni potensi konflik antara dua negara (bilateral), perbedaan interpretasi pemahaman oleh tiga negara (trilateral) dan beberapa negara (multilateral) yang mempunyai kepentingan global walaupun bukan merupakan negara pengklaim; dan
    2. tersiratnya keengganan negara-negara pengklaim untuk melihat sisi khusus dari prospek yang dapat diimplementasikan oleh negara bukan pengklaim, seperti salah satunya Indonesia baik melalui pendekatan bilateral maupun melalui mekanisme proses dalam Association of Southeast Asian Nations (ā€œASEANā€).

    Negara yang Terlibat Konflik Laut China Selatan

    Dalam konflik di LCS, terdapat enam negara yang mengklaim kawasan tersebut baik dari sisi wilayah maritim dan/atau pengakuan atas kepemilikan fitur-fitur (pulau/karang) sebagai wilayahnya, yakni Brunei, China, Filipina, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.

    Namun hingga saat ini, keenam negara tersebut belum secara khusus melakukan upaya dan usaha konkret untuk mencari solusi penyelesaian yang mengarah pada pendekatan forum dan mekanisme yang disediakan oleh hukum internasional. Lalu, kepentingan sepihak keenam negara yang berkonflik berpotensi membuat negara-negara lain (bukan pengklaim dan hanya sebagai pengguna LCS sebagai jalur untuk pelayaran internasional dan untuk keamanan kawasan) menjadi terlibat dalam pusaran konflik tersebut.

    Kerjasama Negara yang Berbatasan dengan Laut Setengah Tertutup

    Berkaitan dengan konflik Laut China Selatan, pada dasarnya UNCLOS 1982 telah memberikan guidelines terkait tata cara untuk melakukan klaim atas wilayah/fitur tersebut atau menyelesaikan perbedaan interpretasi melalui proses dan persyaratan yang diatur dalam Article 74 dan Article 123, sebagai berikut:

    Article 74

    1. The delimitation of the exclusive economic zone between States with opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution.
    2. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, the States concerned shall resort to the procedures provided for in Part XV.
    3. Pending agreement as provided for in paragraph 1, the States concerned, in a spirit of understanding and cooperation, shall make every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature and, during this transitional period, not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Such arrangements shall be without prejudice to the final delimitation.
    4. Where there is an agreement in force between the States concerned, questions relating to the delimitation of the exclusive economic zone shall be determined in accordance with the provisions of that agreement.

    Ā 

    Article 123

    States bordering an enclosed or semi-enclosed sea should cooperate with each other in the exercise of their rights and in the performance of their duties under this Convention. To this end they shall endeavour, directly or through an appropriate regional organization:

    a. to coordinate the management, conservation, exploration and exploitation of the living resources of the sea;

    b. to coordinate the implementation of their rights and duties with respect to the protection and preservation of the marine environment;

    c. to coordinate their scientific research policies and undertake where appropriate joint programmes of scientific research in the area;

    d. to invite, as appropriate, other interested States or international organizations to cooperate with them in furtherance of the provisions of this article.

    Sebagai informasi, kawasan Laut China Selatan adalah kawasan semi-enclosed sea (laut setengah tertutup), sehingga terdapat ketentuan yang bisa menjadi rujukan negara-negara dalam mengarahkan penyelesaian konflik di kawasan tersebut.

    Selanjutnya, sebagaimana telah dijelaskan, LCS merupakan salah satu jalur strategis pelayaran internasional, sehingga komplikasi masalah tumpang tindih klaimnya oleh enam negara dimaksud menjadi lebih kompleks dan rumit dengan kehadiran dan kepentingan negara bukan pengklaim, khususnya terkait jaminan keamanan jalur pelayaran ditinjau dari sudut hukum internasional dan geopolitik kawasan. Misalnya, kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya (India dan Australia) yang memastikan penggunaan jalur untuk pelayaran internasional tidak terhambat. Hal tersebut dikarenakan klaim sepihak negara pantai di kawasan LCS menjadi klaim atas kedaulatan/hak berdaulat. Klaim ini dapat mengakibatkan terjadinya konflik yang berkepanjangan antara kepentingan negara dan kewajiban internasional terkait pemberian akses/transit di kawasan tersebut sesuai UNCLOS 1982, dan tidak melihat solusi praktis yang sebetulnya telah tersedia dari praktek kelaziman hukum internasional.

    Peran Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan

    Dalam perspektif ini, walaupun Indonesia bukan negara pengklaim di kawasan tersebut, namun karena jalur lintas pelayaran, hak atas wilayah maritim, dan wilayah ZEE Indonesia berada di perlintasan kawasan yang diperebutkan oleh negara pengklaim (China, Vietnam dan Malaysia), posisi Indonesia menjadi berkepentingan. Berkaitan dengan ZEE dan wilayah negara Indonesia, Anda dapat membaca UU 5/1983 dan UU 43/2008.

    Selain itu, Vietnam dan Malaysia adalah negara anggota ASEAN. Sehingga secara politis dan geo-strategis penanganan kawasan, Indonesia menjadi sangat berkepentingan untuk memastikan bahwa kawasan LCS harus stabil dan aman sebagai jalur utama untuk pelayaran internasional dan posisi wilayah maritim Indonesia yang berada dalam lingkup tiga jalur strategis, yaitu Laut Andaman, Selat Malaka serta Laut Natuna dalam keadaan terkendali dan dapat dikelola (manageable).

    Konflik di LCS yang melibatkan banyak pemangku kepentingan tentu akan mempengaruhi situasi politik dan keamanan pelayaran yang menjadi kepentingan Indonesia. Sebagai informasi, Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 denganĀ UU 17/1985. Dalam menyikapinya, sebagai negara pihak UNCLOS 1982, peran Indonesia seyogianya terus dilakukan melalui tiga pendekatan yakni:

    1. secara bilateral dengan negara tetangga yang langsung berbatasan maritim, yaitu dengan Vietnam dan Malaysia
    2. secara geo-politik kawasan, dalam kaitan hubungan dengan China sebagai negara pengklaim yang dinilai agresif dan cenderung self-centered melalui mekanisme proses dalam ASEAN dan Organisasi Internasional di bidang kelautan dan kemaritiman; dan
    3. mendorong proses mediasi/arbitrase internasional sesuai Part XV UNCLOS 1982.

    Ketiga pendekatan ini mempunyai meritokrasi langsung terhadap pendekatan melalui pemahaman akar permasalahan dalam menangani konflik yang berkepanjangan, dan dapat menjadi pilihan dalam memproses penyelesaian konflik sesuai kepentingan serta dengan membaca eskalasi potensi konflik.

    Dalam konteks mekanisme bilateral, bagi Indonesia, untuk mempersempit peluasan konflik yang berpotensi melibatkan Indonesia ke dalam konflik bilateral, maka penegasan batas wilayah maritim ZEE Indonesia dengan negara tetangga yang bertumpang tindih, yakni dengan Vietnam di Perairan Natuna menjadi sangat strategis. Hal ini bertujuan untuk memperkuat landasan hukum penegasan batas wilayah yang tumpang tindih dalam menghadapi pelibatan pihak ketiga, terutama China.

    Berkaitan dengan hal tersebut, Indonesia dan Vietnam telah berhasil menyelesaikan Ā perundingan batas wilayah ZEE dimaksud dengan ditandatanganinya Perjanjian Batas Wilayah ZEE Indonesia dan Vietnam (2023). Kesepakatan ini telah memberikan kepastian hukum sesuai Article 74 UNCLOS 1982, terkait penerapan hak dan kewajiban kedua negara di wilayah ZEE-nya masing-masing. Secara khusus dalam kesepakatan ini, permasalahan yang akan terjadi kemudian waktu di wilayah ZEE masing-masing negara telah mempunyai dasar hukum dan jaminan untuk sesuai ketentuan yang berlaku dan disepakati.

    Selain itu, Indonesia dan Vietnam telah melakukan kerjasama dalam berbagai kegiatan di wilayah perbatasan ZEE. Kerjasama tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa kesepakatan penanganan dan pelaksanaan untuk penegakan hukum dan keamanan maritim di wilayah perbatasan ZEE dapat diberlakukan secara bersama, misalnya mengatur kehadiran pihak ketiga yang aktivitasnya tidak sesuai dengan UNCLOS 1982 atau ketentuan hukum internasional lainnya, maupun aktivitas yang mengancam kepentingan nasional kedua negara.

    Kemudian, dalam penanganan di sektor geo-politik kawasan atau hubungan trilateral, khususnya di antara negara pengklaim dan negara lain yang mempunyai kepentingan untuk menghindari potensi konflik yang berkepanjangan, serta mempertimbangkan kawasan LCS sebagai semi-enclosed sea sesuai dengan pengaturan Part IX UNCLOS 1982 (Article 122 dan Article 123), jika tidak terdapat upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, namun bisa mengelola permasalahan agar tidak terjadi eskalasi konflik berkepanjangan dan terbuka, pada hakikatnya, seluruh negara pantai yang wilayahnya saling berbatasan atau bertumpang tindih klaim di LCS dapat bersepakat untuk melakukan upaya penghindaran konflik melalui kerjasama lintas kawasan klaim.

    Mekanisme tersebut telah secara khusus digagas dan diperkenalkan pada awal tahun 1990 oleh Indonesia (Kementerian Luar Negeri) bekerja sama dengan University of British-Columbia di Kanada. Kerjasama lintas kawasan klaim kemudian diikuti oleh organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (ā€œPBBā€) lainnya (United Nations Development Programme-United Nations Environment Programme) serta Uni Eropa dan beberapa negara yang mendukung proses ini (Jepang, Amerika Serikat, Prancis dan Australia) dan menyelenggarakan rangkaian kegiatan dalam format Workshop on Managing the Potential Conflict in the South China Sea. Mekanisme yang digagas Indonesia ini telah menyediakan forum dan format kerjasama antar negara di kawasan ZEE dan semi-enclosed seas Laut China Selatan sesuai Article 61-63 dan Article 122-123 UNCLOS 1982.

    Dalam proses ini, negara-negara pengklaim untuk sementara mengesampingkan konflik yang sedang terjadi melalui kerjasama di bidang-bidang teknis kelautan dan kemaritiman. Lalu, Indonesia memulai suatu proses yang dituangkan dalam program kerja jangka panjang nasional untuk mengisi upaya konkret dan langsung dalam pengelolaan kerjasama kawasan guna menghindari konflik yang berkepanjangan menjadi kawasan yang damai, stabil dan terciptanya kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam mekanisme ini, negara-negara yang terlibat dan berpartisipasi tidak membahas permasalahan klaim kawasan oleh negara-negara yang berkonflik, termasuk pelibatan negara-negara lain bukan pengklaim, melainkan mencari kesepahaman bersama untuk bekerjasama secara non-politik yang dalam perjalanannya akan memberi ruang untuk saling memahami kepentingan bersama di kawasan LCS.

    Selain upaya di atas, peran Indonesia menjadi lebih strategis karena terdapat empat dari enam negara pengklaim yang merupakan sesama negara ASEAN (Brunei, Filipina, Malaysia, dan Vietnam), sehingga ada kontribusi lain yang diperlukan oleh Indonesia untuk melibatkan ASEAN dalam menghadapi agresivitas klaim sepihak China (historical rights) di wilayah LCS yang bersinggungan secara langsung dengan wilayah ZEE Indonesia dan secara indikatif geografis telah menerobos ke dalam kawasan pantai di Pulau Natuna.

    Pada keadaan klaim sepihak China, Indonesia perlu mengedepankan pelaksanaan atas dua prinsip kebijakan untuk pendekatan utama dalam menyikapi konflik. Pertama, memastikan keberadaan dan kehadiran secara fisik simbol negara dan penegasan penegakan hukum oleh aparat non-militer Indonesia untuk tetap melakukan tugas dan fungsinya sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Kedua, melalui proses Confidence Building Measures (ā€œCBMā€) di antara negara-negara ASEAN yang terlibat langsung dan Confidence Building Process (ā€œCBPā€) melalui solusi dan upaya penyelesaian masalah klaim kewilayahan dan yurisdiksi antara negara pengklaim lainnya dengan negara lain yang berkepentingan melalui pendekatan ā€œpeaceful means through dialogue and negotiationā€.

    Kedua prinsip di atas merupakan hal yang bisa dan harus menjadi pegangan utama bagi Indonesia dalam turut serta melakukan pengelolaan untuk menghindari konflik berkepanjangan.

    Dalam kaitannya dengan prinsip pertama, dengan telah ditandatanganinya Perjanjian Batas Wilayah ZEE Indonesia dan Vietnam, maka secara yuridis, yang perlu dikedepankan Indonesia adalah memproses ratifikasi perjanjiannya sehingga berkekuatan hukum tetap yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan perundingan teknis lanjutan dengan Vietnam terkait kegiatan pelaksanaan kerjasama di kawasan perbatasan. Hal ini menjadi kondusif bagi kedua negara mengingat dalam perjanjian, pihak Vietnam juga mendapatkan keuntungan dalam menerapkan kebijakan nasionalnya, dan dalam upaya menegaskan keberadaan di LCS melalui hak berdaulatnya di kawasan ZEE yang telah berbatasan dengan Indonesia.

    Sehingga, klaim China yang didasari oleh 9 Dashed-Line (ā€œ9DLā€) dapat dipatahkan secara legal dan dalam koridor hukum yang berketetapan pasti, serta sesuai ketentuan UNCLOS 1982. Terlebih lagi, berhasilnya tuntutan Filipina melalui Permanent Court of Arbitration (ā€œPCAā€) Award Case 2013-19/2016 under Annex VII of UNCLOS 1982 yang mengeluarkan awards dan memperkaya khasanah klaim fitur sesuai Article 121 UNCLOS 1982 mempunyai interpretasi yang baik dan menguntungkan bagi negara pihak UNCLOS 1982, serta menolak prinsip klaim 9DL terkait historical rights yang diajukan China. Pada dasarnya, klaim 9DL adalah tidak sesuai dengan sumber hukum internasional yang berlaku terkait klaim wilayah negara secara sepihak. Walaupun pada praktiknya China menolak yurisdiksi PCA, namun telah ditolak oleh PCA yang kemudian menjadikan awards ini berkekuatan hukum tetap sebagai salah satu sumber hukum internasional yang berlaku.

    Untuk memperkuat posisi ini, Indonesia dalam menegakkan kedaulatannya harus terus mengedepankan pembangunan kawasan Perairan Natuna secara berkelanjutan dengan program-program yang menegaskan kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di kawasan tersebut tanpa kecuali. Khususnya, melalui pengembangan kegiatan pengelolaan sumber daya lintas negara, serta terus memastikan kehadiran simbol negara (aparat penegak hukum non-militer) di wilayah ZEE Indonesia tetap berlanjut.

    Selain itu, peran Indonesia dalam menerapkan prinsip kedua menjadi sebuah peluang menunjukan kepemimpinan dalam prinsip ASEAN melalui dialog dan perundingan yang mengedepankan upaya untuk menjaga perdamaian dan keamanan wilayah negara anggotanya dengan negara-negara tetangga dan negara lain yang memanfaatkan wilayah LCS sebagai kawasan tanpa konflik terbuka. Dalam hal ini, Indonesia beserta negara ASEAN lain yang bukan pengklaim dapat mengajukan proses khusus yang tercermin dengan disepakatinya Declaration of Conduct (2002) melalui ASEAN-China Framework yang saat ini telah berproses dalam perundingan untuk menyusun dokumen hukum dalam bentuk Code of Conduct sebagai landasan hukum untuk menyepakati pengaturan aktivitas negara-negara di kawasan LCS.

    Indonesia dalam proses ini bisa menempatkan diri sebagai honest broker dan/atau pemain kunci di antara enam negara pengklaim untuk mempercepat penyelesaian sengketa, sebagai tata cara beraktivitas di LCS bagi seluruh negara di kawasan termasuk negara lain yang berkepentingan. Peran Indonesia dapat menyambungkan konsep mekanisme ASEAN yang mengedepankan dialog dalam menyelesaikan potensi konflik yang melibatkan negara anggota ASEAN serta mendorong pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk menghormati proses ini sebagai bagian dari masyarakat global dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut China Selatan.

    Baca juga: Sejarah Singkat Hukum Laut Internasional

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
    2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut);
    3. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara;
    4. Statute of the International Court of Justice;
    5. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

    Putusan:

    Permanent Court of Arbitration Award Case No. 2013-19, 16 July 2016, under Annex VII of UNCLOS 1982.

    Referensi:

    1. Damos Dumoli Agusman. Natuna Waters: Explaining a Flashpoint between Indonesia and China. Indonesian Journal of International Law, Vol. 20, No. 4, 2023;
    2. Gleice Miranda and Valentina Maljak. The Role of United Nations on the Laws of the Sea in the South China Sea Disputes. E-International Relations, 2022;
    3. Hasjim Djalal. South China Sea Island Dispute. The Raffles Bulletin of Zoology 2000, Supplement No.8:9-21, National University of Singapore;
    4. JĆ¼rgen RĆ¼land. The Nature of Southeast Asian Security Challenges. Sage Journals, Security Dialogue, Vol. 36, Issue 4, 2005;
    5. Robert Beckman. The Significance of the Award on Rights to Resources. AsianSIL 6th Biennial Conference, Seoul, Korea, Centre for International Law, University of Singapore, yang diselenggarakan pada 25-26 Agustus 2017;
    6. Surya Wiranto (et.al). The Dispute of South China Sea from International Law Perspective. The Southeast Asia Law Journal, Vol. 1, No.1, 2015;
    7. The 30th Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea: Statement of the Workshop. Pusat Strategi Kebijakan Multilateral, Kementerian Luar Negeri RI, Bogor, Indonesia, yang diselenggarakan pada 13-14 Oktober 2021;
    8. KBBI, meritokrasi, yang diakses pada 7 Maret 2024, pukul 12.21 WIB.

    Tags

    laut china selatan
    south china sea

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Simak! Ini 5 Langkah Merger PT

    22 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!