Bagaimana hukumnya jika pekerja yang selama bekerja belum mendapatkan salinan kontrak kerja, sampai pada akhirnya pekerja tersebut resign sebelum 1 month notice dan masih belum diberikan salinan kontrak kerjanya. Apakah pekerja tersebut berhak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Perjanjian kerja atau dikenal juga dengan istilah kontrak kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, yang dapatdituangkan dalam bentuk tertulis ataupun lisan.
Pada prinsipnya, perjanjian kerja secara tertulis dibuat minimal rangkap 2 yang masing-masing diberikan kepada para pihak dan keduanya memiliki kekuatan hukum yang sama.
Jika salah satu rangkap atau salinan perjanjian kerja tersebut tidak diberikan kepada pekerja, langkah apa yang dapat ditempuh?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Apakah Pekerja Berhak Mendapatkan Salinan Kontrak Kerja?
Pertama-tama perlu diketahui bahwa hubungan hukum antara pekerja dan pengusaha dalam undang-undang disebut sebagai hubungan kerja. Lebih detail, definisi hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.[1]
Menurut Ida Hanifa dalam bukunya Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia (hal. 64) hubungan kerja pada dasarnya adalah hubungan antara kedua belah pihak yaitu pengusaha dengan pekerja/buruh, dengan suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pekerja/buruh) mengikatkan dirinya pada pihak lain (pengusaha) untuk bekerja dengan mendapatkan upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kata kunci dari hubungan kerja adalah perjanjian kerja. Adapun Imam Soepomo dalam bukunya Hukum Perburuhan (hal. 1) berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu yaitu buruh mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lain yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Selanjutnya, Yunus Shamad dalam buku Hubungan Industrial di Indonesia (hal. 53) berpandangan bahwa perjanjian kerja ialah suatu perjanjian dimana seseorang mengikatkan diri untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama.
Secara yuridis, Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan mendefinisikan perjanjian kerja sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Dengan demikian, perjanjian kerja menjadi pondasi atau dasar adanya hubungan kerja antara pihak pekerja dengan pengusaha.
Lebih lanjut, perjanjian kerja dapat dibuatbaik secara tertulis maupun lisan. Terhadap perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis (misalnya perjanjian kerja waktu tertentu) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Lalu, apakah kontrak kerja harus rangkap 2? Jawabannya benar. Perjanjian kerja secara tertulis dibuat minimal 2 rangkap yang masing-masing wajib diberikan kepada pekerja dan pengusaha. Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 54 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Berdasarkan isi Pasal 54 ayat (3) tersebut, maka perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis itu wajib dimiliki oleh para pihak yang membuatnya yaitu pihak pekerja dengan pengusaha dan keduanya memiliki kekuatan hukum yang sama.
Langkah Hukum Jika Salinan Perjanjian Kerja Tidak Diberikan
Lantas, bagaimana hukumnya bila perjanjian kerja hanya dimiliki oleh pihak pengusaha, namun pihak pekerja tidak memilikinya? Dalam UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja, tidak diatur secara tegas mengenai sanksi apabila rangkap atau salinan perjanjian kerja tidak berikan kepada pekerja.
Namun demikian, karena dalam ketentuan undang-undang wajib hukumnya perjanjian kerja dimiliki oleh para pihak yang membuatnya, maka menurut hemat kami, tidak ada alasan bagi pengusaha untuk tidak memberikan perjanjian kerja meskipun terdapat hal-hal yang dirahasiakan.
Dokumen perjanjian kerja adalah hak karyawan yang harus diberikan oleh perusahaan. Jika salinan perjanjian kerja sebagaimana Anda maksud tidak diberikan kepada pekerja, maka upaya yang dapat ditempuh terlebih dahulu yaitu dengan melakukan perundingan bipartit yaitu perundingan antara pengusaha dengan pekerja dalam satu perusahaan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.[3]
Jika perundingan bipartit gagal, Anda dapat mengupayakan perundingan tripartit melalui mediasi untuk kasus perselisihan hak[4] seperti tidak mendapatkan salinan/dokumen perjanjian kerja. Dalam hal ini, Anda dapat ditengahi oleh mediator yang netral dari kantor Dinas Ketenagakerjaan.[5]
Hak Pekerja Resign yang Tak Punya Salinan Perjanjian Kerja
Menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah pekerja resign yang belum mendapatkan dokumen perjanjian kerja tetap bisa mendapatkan hak-haknya, menurut hemat kami pekerja tersebut tetap berhak mendapatkan hak-haknya karena telah ada hubungan kerja yaitu adanya perjanjian, dan telah ada unsur perintah, pekerjaan, dan upah.
Adapun hak-hak pekerja resign atau mengundurkan diri atas kemauan sendiri adalah uang penggantian hak dan uang pisah yang besarannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[6]
Namun perlu diperhatikan bahwa pekerja yang resign atas kemauan sendiri harus memenuhi syarat:[7]
mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Dengan demikian, karyawan yang resign hendaknya memenuhi persyaratan di atas, termasuk permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari atau dikenal dengan istilah one month notice.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Terima kasih.