Nama seseorang sebut saja A sedang naik daun. Kemudian ada suatu brand kosmetik yang memanfaatkan situasi dengan mendaftarkan nama A tersebut sebagai merek dagang. Orang yang membeli berpikir bahwa pemilik kosmetik tersebut adalah A. Padahal A tidak pernah membuat brand kosmetik. Apakah penggunaan nama orang A ini dapat dituntut untuk dibatalkan pendaftaran mereknya?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Untuk dapat mendaftarkan merek yang merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang terkenal, pemohon harus meminta persetujuan tertulis dari yang orang yang namanya digunakan tersebut. Jika tidak ada izin, permohonan pendaftaran merek ditolak dan/atau orang yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan pembatalan merek.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 dimensi dan/atau 3 dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.[1]
UU Merek mengatur mengenai kriteria merek yang dapat didaftarkan atau tidak. Terkait dengan pertanyaan Anda, Pasal 21 ayat (2) huruf a UU Merek menyebutkan permohonan pendaftaran merek ditolak salah satunya jika merek merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dengan demikian, untuk dapat mendaftarkan merek yang merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang terkenal, pemohon harus secara saksama dan hati-hati untuk meminta persetujuan tertulis dari yang berhak, dalam hal ini orang yang namanya digunakan sebagai merek. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari adanya potensi gugatan pembatalan merek.
Gugatan Pembatalan Merek
Apabila merek yang menggunakan nama orang tanpa izin tersebut telah terdaftar, maka orang yang memiliki nama tersebut dapat mengajukan upaya hukum berupa gugatan pembatalan merek kepada Pengadilan Niaga. [2]
Perlu dicatat, gugatan pembatalan merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 tahun terhitung sejak tanggal pendaftaran merek.[3] Sedangkan jika ada unsur iktikad tidak baik dan/atau merek bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum, maka gugatan pembatalan merek dapat diajukan tanpa batas waktu.[4]
Di sisi lain, dalam hal orang yang namanya digunakan sebagai merek secara tanpa izin tersebut sebenarnya telah menggunakan namanya sendiri sebagai merek, namun merek itu masih tidak terdaftar, ia masih tetap dapat mengajukan gugatan pembatalan merek.[5]
Merujuk bunyi Penjelasan Pasal 76 ayat (2) UU Merek menyatakan yang dimaksud dengan pemilik merek yang tidak terdaftar antara lain pemilik merek yang iktikad baik tetapi tidak terdaftar atau pemilik merek terkenal tetapi mereknya tidak terdaftar.
Oleh karena itu, menurut hemat kami, orang yang namanya didaftarkan oleh pihak lain tanpa izin atau persetujuannya terlebih dahulu dapat mengajukan gugatan pembatalan merek ke Pengadilan Niaga jika ia telah mengajukan permohonan pendaftaran merek untuk namanya agar permohonan merek itu dapat dijadikan dasar gugatan pembatalan merek.
Adapun gugatan pembatalan tersebut nantinya dapat diajukan dengan dasar bahwa pendaftaran merek kosmetik tersebut diajukan dengan iktikad tidak baik. Dalam artian pemohon patut diduga dalam mendaftarkan mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.[6]