Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelumya kami turut perihatin atas apa yang Anda alami.
Untuk menjawab pertanyaan apakah seorang pengemudi motor dapat diminta pertanggungjawaban pidana atas kecelakaan akibat pecahnya ban, kami akan sedikit mengupas mengenai “kelalaian” atau “kealpaan” atau “culpa” dalam tindak pidana lalu lintas.
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Dalam Pasal 283 UU LLAJ di atas terdapat unsur yang intinya “mengemudikan kendaraan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang menganggu konsentrasi” yang artinya jika si pengemudi melakukan tindakan lain atau menganggu konsentrasi pada saat mengendarai kendaraan seperti menggunakan handphone, melakukan panggilan telepon, mengirim pesan, atau yang paling berbahaya yaitu mabuk, maka pengemudi tersebut dapat dikatakan melanggar tersebut dan dapat dikenai sanksi pidana.
Jika dikaitkan dengan permasalahan yang Anda alami, maka seharusnya suami Anda tidak memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 283 UU LLAJ, sebab Anda menjelaskan bawa suami Anda fokus saat mengendarai sepeda motor.
Selanjutnya mengenai Pasal 310 ayat (1) dan (2) UU LLAJ yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Pasal di atas mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh “kelalaian” atau yang dikenal sebagai “kealpaan”/“culpa”.
Prof. Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (hal. 187) menjelaskan menganai kealpaan sebagai berikut:
… Imperitia culpae annumeratur, yang berarti kealpaan adalah kesalahan. Akibat ini timbul karena seseorang alpa, sembrono, teledor, lalai, berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-duga. Perbedaannya dengan kesengajaan ialah bahwa ancaman pidana pada delik-delik kesengajaan lebih berat bila dibandingkan dengan delik-delik culpa.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa “kealpaan” atau “kelalaian” atau kurang berhati-hatinya seseorang dapat mengakibatkan ia dijerat pidana.
Jika dikaitkan dengan kasus yang anda uraikan di atas, saudara menyebutkan kalimat “tiba-tiba ban meletus”. Perlu diketahui pecahnya ban motor dapat terjadi karena berbagai faktor yaitu di luar kehendak pengemudi dan dalam kesadaran pengemudi. Faktor di luar kehendak pengemudi seperti ban tertusuk paku ditengah jalan, salah produksi ban, dan sebagainya. Sedangkan faktor dalam kesadaran pengemudi seperti ban terlalu lama digunakan, tekanan angin yang terlalu kencang, atau hal lain yang seharusnya diperhatikan pengemudi namun tidak diperhatikan.
Dalam kasus tersebut, jika ternyata ban motor pecah akibat sudah terlalu lama pemakaian atau memang karena keteledoran atau kelalaian yang patut disadari pengemudi, maka suami anda dapat dikategorikan termasuk dalam unsur “kealpaan”. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai “kealpaan” karena seharusnya pengemudi sudah mengetahui adanya resiko jika terdapat ketidaklaziman yang dibiarkan.
Delik Biasa dan Delik Aduan
Selanjutnya, terkait dengan pernyataan bahwa Anda tidak melakukan penuntutan terhadap suami, dapat kami jelaskan dengan menguraikan delik biasa dan delik aduan.
Dapat tidaknya suatu tindak pidana diproses secara hukum harus memperhatikan apakah tergolong sebagai delik biasa atau delik aduan. Singkatnya, untuk melakukan proses hukum terhadap perkara pidana yang tergolong sebagai delik biasa, tidak membutuhkan adanya pengaduan dari pihak korban maupun pihak lainnya. Sedangkan, delik aduan membutuhkan pengaduan untuk memproses perkara tersebut lebih lanjut misalnya pengaduan dari korban.
Dalam hal ini, dugaan tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh suami Anda tergolong sebagai delik biasa sehingga untuk dapat dilakukan proses hukum tidak membutuhkan pengaduan dari Anda selaku korban.
Pendampingan Hukum
Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
Bahwa merujuk dari pertanyaan Anda, suami Anda diduga melakukan tindak pidana lalu lintas sebagaimana diatur dalam Pasal 283 UU LLAJ dengan pidana maksimal 3 bulan penjara atau Pasal 310 ayat (1) dan (2) UU LLAJ yang masing-masing diancam dengan pidana penjara paling lama 6 bulan dan 1 tahun. Dengan demikian suami Anda tidak wajib didampingi oleh penasihat hukum, namun bukan berarti suami Anda tidak bisa mendapat pendampingan hukum.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Cahaya Atma Pustaka: Yogyakarta, 2016.