Intisari :
Hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa tanpa alat bukti saksi, tetapi harus tetap memenuhi minimal dua alat bukti dan keyakinan Hakim karena tidak ada kewajiban salah satu dari dua alat bukti minimal harus merupakan keterangan saksi. Namun, dalam praktik boleh dikatakan tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa yang luput dari keterangan saksi. Faktor pertama karena terdapat perluasan makna keterangan saksi. Kedua, Majelis Hakim akan berusaha sebisa mungkin terdapat keterangan saksi untuk memutus suatu perkara, untuk mencegah timbulnya keraguan yang masuk akal (beyond reasonable doubt). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sistem Pembuktian Hukum Pidana
Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa menurut Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya
Teori dan Hukum Pembuktian (hal. 17), sistem pembuktian hukum pidana di Indonesia menganut prinsip
negatief wettelijk bewijstheorie yaitu dasar pembuktian hukum pidana dilakukan menurut keyakinan Hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif. Prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 183
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang memberikan batasan untuk Hakim dalam menjatuhkan hukuman pemidanaan terhadap seseorang harus berdasarkan keyakinan Hakim dan minimal dua alat bukti (
bewijs minimmum), selengkapnya Pasal 183 KUHAP berisi:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berkaitan dengan pemenuhan minimal dua alat bukti, hukum positif tidak memberikan kewajiban salah satu alat bukti yang digunakan harus merupakan keterangan saksi. Sepanjang Hakim telah mendapatkan keyakinan bahwa benar terjadi suatu tindak pidana dan terdakwa yang bersalah disertai dengan minimal dua alat bukti, sebagaimana terdapat empat alat bukti selain keterangan saksi berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:
Alat bukti yang sah ialah:
keterangan Saksi;
keterangan Ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan Terdakwa.
Kendati Pasal 185 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 185 ayat (3) KUHAP menyatakan:
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;
Dapat dipahami bahwa keterangan satu orang saksi jika disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan, ketentuan tersebut tidak dapat diartikan setidak-tidaknya harus ada satu orang saksi untuk memenuhi minimal dua alat bukti dalam Pasal 183 KUHAP. Karena Pasal 185 di atas merupakan penegasan minimal dua alat bukti, yang mana juga terdapat dalam ketentuan mengenai Keterangan terdakwa dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang menyatakan:
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Oleh karena itu sejalan dengan pendapat sebelumnya, Hakim dapat menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tanpa alat bukti keterangan Saksi, tetapi harus memenuhi minimal dua alat bukti lainnya dan dengan keyakinan Hakim.
Alat Bukti Keterangan Saksi dalam Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Namun dalam praktik pemeriksaan perkara pidana dengan acara biasa, menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 286), pada umumnya keterangan saksi merupakan alat bukti yang utama, boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.
Terdapat beberapa hal yang menjadi faktor kerap digunakannya keterangan saksi dalam pembuktian perkara pidana. Pertama, terdapat perluasan makna keterangan saksi melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 (Baca:
MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP). Sehingga saat ini siapa saja yang masih memiliki relevansi dengan perkara untuk memberikan keterangan, dapat dijadikan sebagai saksi. Tidak harus orang yang melihat, mendengar, mengalami suatu peristiwa pidana. Mengambil contoh ilustrasi yang Anda berikan, dalam perkara tersebut meski tidak ada saksi yang melihat terjadinya pembunuhan, dalam praktik Jaksa Penuntut Umum akan memanggil saksi penangkap, saksi dari keluarga korban, ataupun saksi lain yang masih memiliki relevansi dengan perkara.
Kedua, Majelis Hakim akan mengusahakan sebisa mungkin terdapat keterangan saksi untuk memutus suatu perkara karena tanpa adanya saksi, dapat menimbulkan keragu-raguan Hakim dalam menjatuhkan putusan. Hakim tidak boleh memiliki keraguan yang masuk akal dalam menjatuhkan hukuman bersalah kepada terdakwa (beyond a reasonable doubt).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012.