Netizen banyak menanyakan persetubuhan suka sama suka yang dilakukan oleh anak AG bocor ke media sosial. Bukankah ini melanggar asas sidang tertutup untuk umum terkait kasus pidana anak? Lalu benarkah AG di sini tetap dianggap sebagai korban atas persetubuhan yang dilakukan atas dasar suka sama suka? Mohon pencerahannya.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Proses pemeriksaan perkara anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan secara tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 UU 11/2012. Namun, dalam hal tertentu dan dipandang perlu, hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, tanpa mengurangi hak anak. Lalu, jika dikaitkan dengan yang Anda tanyakan, bagaimana hukumnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Persidangan Perkara Anak Tidak Selalu Tertutup untuk Umum yang dibuat oleh Abi Jam'an Kurnia, S.H.,dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 4 Maret 2019.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sidang Pidana Anak Tertutup untuk Umum
Pada hakikatnya anak merupakan bagian dari keberlangsungan hidup manusia serta keberlangsungan sebuah bangsa dan negara yang mana hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.[1] Anak dalam masyarakat merupakan pembawa kebahagiaan bagi kedua orang tua.[2] Didasarkan pada hal tersebut, tentu saja menjadi faktor penting untuk melakukan perlindungan terhadap anak. Pentingnya perlindungan anak juga didasarkan pada ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yaitu anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Namun pada perkembangan zaman yang terjadi, tidak hanya orang dewasa yang dapat melakukan tindak pidana. Tidak jarang suatu tindak pidana dilakukan oleh anak. Berdasarkan publikasi yang diterbitkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang berjudul Catatan Pelanggaran Hak Anak Tahun 2021 dan Proyeksi Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Anak Tahun 2022 menyebutkan pada tahun 2021 terdapat 126 kasus anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku.[3]
Dalam UU 11/2012, anak yang menjadi pelaku tindak pidana atau diduga melakukan tindak pidana dikategorikan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Secara spesifik, Pasal 3 UU 11/2012 mengatur beberapa hak anak dalam proses peradilan pidana yaitu:
diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
dipisahkan dari orang dewasa;
memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
melakukan kegiatan rekreasional;
bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
tidak dipublikasikan identitasnya;
memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
memperoleh advokasi sosial;
memperoleh kehidupan pribadi;
memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
memperoleh pendidikan;
memperoleh pelayanan kesehatan; dan
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Proses pemeriksaan perkara anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan secara tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 UU 11/2012. Pemeriksaan perkara anak harus dilakukan secara tertutup di ruang sidang khusus anak. Walaupun demikian, dalam hal tertentu dan dipandang perlu, hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, tanpa mengurangi hak anak.[4]
Hal tertentu dan dipandang perlu yang dimaksud antara lain karena sifat dan keadaan perkara harus dilakukan secara terbuka. Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka, misalnya perkara pelanggaran lalu lintas, dan dilihat dari keadaan perkara, misalnya pemeriksaan perkara di tempat kejadian perkara.[5]
Selanjutnya menyambung pertanyaan Anda, terkait dengan pembacaan putusan dalam perkara anak, Pasal 61 ayat (1) UU 11/2012 menyebutkan bahwa pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak. Pada ayat selanjutnya pun disebutkan bahwa identitas anak, anak korban dan/atau anak saksi harus dirahasiakan oleh media massa dengan menggunakan inisial tanpa gambar.[6]
Sehingga menjawab pertanyaan Anda, sudah seharusnya kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana dilakukan secara tertutup. Pun selama proses persidangan, anak yang berkonflik dengan hukum seharusnya mendapatkan hak-hak dalam Pasal 3 UU 11/2012 yang salah satunya adalah tidak dipublikasikannya identitasnya. Namun demikian, dalam praktiknya kerahasiaan informasi tersebut sulit terwujud karena masyarakat tetap mudah terpapar informasi terkait hal-hal personal anak, seperti nama orang tua, pekerjaan orang tua, sekolah, dan lain sebagainya yang beredar di media sosial.
Persetubuhan Anak Suka Sama Suka
Berbicara mengenai persetubuhan anak yang dilakukan atas dasar suka sama suka, kami akan menjelaskan bunyi pasal terkait berdasarkan KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan serta UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[7] yakni pada tahun 2026 sebagai berikut.
Pasal 284 ayat (1) dan (2) KUHP
Pasal 411 ayat (1) dan (2)
UU 1/2023
Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:
a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[8]
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Adapun Penjelasan Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “bukan suami atau istrinya” adalah:
laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.
Apabila dikaitkan dengan pernyataan Anda mengenai persetubuhan anak yang dilakukan atas dasar suka sama suka, maka tindakan ini dapat dikategorikan tindak pidana perzinaan, sebab dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan.
Sehingga, kami berpendapat kuranglah tepat jika anak yang melakukan persetubuhan sebagaimana Anda tanyakan dikategorikan sebagai korban dalam perzinaan. Namun patut dicatat, tindakan persetubuhan anak atas dasar suka sama suka ini baru dapat diproses jika ada pengaduan dari orang tua. Lalu patut dicatat, sedangkan baik dalam KUHP maupun UU Perlindungan Anak sepanjang penelusuran kami tidak diatur jerat pasal mengenai persetubuhan yang dilakukan oleh anak atas dasar suka sama suka, kecuali perbuatannya memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 76D dan 76E UU 35/2014.