3 Alasan Koalisi Masyarakat Kaltim Desak UU IKN Dibatalkan
Terbaru

3 Alasan Koalisi Masyarakat Kaltim Desak UU IKN Dibatalkan

Karena UU IKN dinilai cacat prosedural dan mengancam keselamatan rakyat Kalimantan Timur.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Suasana rapat paripurna di Gedung DPR. Foto: RES
Suasana rapat paripurna di Gedung DPR. Foto: RES

Mayoritas fraksi di DPR telah menyetujui RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU. Pengambilan keputusan tingkat II itu diputuskan dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR, Puan Maharani. “Karena ada 1 dari 9 fraksi, dan 8 fraksi setuju, jadi bisa kita setujui. Apakah RUU tentang Ibu Kota Negara dapat disetujui dan disahkan menjadi UU,” ujarnya menanyakan ke seluruh anggota dewan yang hadir dalam rapat paripurna di Gedung Parlemen, Selasa (18/1/2022) kemarin.

Kedelapan fraksi itu yang menyetujui RUU IKN antara lain, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi Nasdem, Fraksi Partai kebangkitan Bangsa (F-PKB), Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP). Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolak persetujuan RUU IKN menjadi UU. 

Atas pengesahan RUU IKN menjadi UU ini, Koalisi Masyarakat Kalimantan Timur (Kaltim) secara tegas menolak dan meminta UU itu dibatalkan karena cacat prosedural dan mengancam keselamatan rakyat Kalimantan Timur. Koalisi ini terdiri dari Walhi, Walhi Kaltim, Pokja 30 Kaltim, LBH Samarinda, FNKSDA Kaltim, Jatam Kaltim.  

Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi, Dwi Sawung, mengatakan RUU IKN dibahas maraton sejak pembentukan Pansus RUU IKN di DPR pada Desember 2021. Hanya dalam waktu 40 hari proses pembahasan RUU IKN di DPR, DPR dan pemerintah akhirnya mengesahkan RUU IKN menjadi UU dalam rapat paripurna pada 18 Januari 2022 

“Ini seperti mengulang kembali Undang Undang Omnibus (UU Cipta Kerja, red) yang disahkan dengan cepat, kemudian dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Dwi Sawung dalam keterangannya, Selasa (18/1/2022). (Baca Juga: Resmi Disahkan, Begini Substansi UU Ibu Kota Negara)

Sawung melihat konsultasi publik yang digelar selama Desember 2021-Januari 2022 sangat terburu-buru dan hanya menyelesaikan kewajiban formal saja. Bahkan yang diketahui di Kalimantan Timur sendiri tidak ada konsultasi publik yang melibatkan masyarakat terdampak baik di kawasan inti maupun kawasan penyangga. Proses konsultasi tidak inklusif, padahal ibu kota ini bukan hanya kepentingan pihak-pihak tertentu, tapi juga kepentingan publik.

“Kami tidak melihat kepentingan publik dibahas dan diutamakan selama proses pembahasan pemindahan ibu kota negara baik pembuatan aturan (UU) maupun pembahasan perlu atau tidak pemindahan ibu kota,” ujarnya.

Direktur Walhi Kaltim, Yohana Tiko, menilai RUU IKN cacat prosedural dan mengancam keselamatan rakyat di Kalimantan Timur. Dia mencatat proses pembahasan RUU IKN sangat cepat hanya 40 hari di DPR. Padahal, selama ini organisasi masyarakat sipil mengkritik RUU IKN karena cacat prosedural dan mengancam keselamatan ruang hidup rakyat dan satwa langka di Kalimantan Timur. Terutama masyarakat yang terdampak proyek IKN yakni Kabupaten Penajam, Kabupaten Kutai Kertanegara, dan Kota Balikpapan.

“Megaproyek IKN sendiri berpotensi akan menggusur lahan-lahan masyarakat adat, terutama masyarakat adat Suku Balik dan Suku Paser serta warga Transmigran yang sudah lama menghuni di dalam kawasan 256 ribu Hektar,” kata Yohana ketika dikonfirmasi, Rabu (19/1/2021).

Dia menegaskan pembahasan RUU IKN minim partisipasi publik, padahal dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diperbarui oleh UU No.15 Tahun 2019 menyebut bahwa setiap undang-undang wajib ada partisipasi dari publik. Penetapan pemindahan Ibukota ke Kalimantan Timur adalah keputusan politik tanpa dasar yang jelas, tidak partisipatif, dan tidak transparan.

“Cacat prosedural dalam penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) kembali dilakukan dalam pembuatan RUU IKN. Dimana sebelumnya dilakukan secara tertutup, terbatas, dan tidak melibatkan masyarakat yang terdampak langsung dari pemindahan ibu kota,” kata dia.

Yohana mencatat masyarakat di wilayah lain yang juga akan terdampak dalam megaproyek ini seperti ribuan ASN Pemerintah Pusat di Jakarta dan sekitarnya, warga di Sulawesi Tengah, serta 2 kampung masyarakat adat yang hidup di sepanjang sungai kayan akan ditenggelamkan beserta 5 Kampung yang juga digusur paksa untuk pembangunan Dam kecil pendukung PLTA Kaltara. Hal tersebut demi memasok listrik bagi situs perkantoran di ibu kota baru.

Lahan IKN yang akan dibangun merupakan lahan-lahan perusahaan sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri), serta tambang yang merupakan milik dari para oligarki-oligarki yang dengan sengaja merusak hutan dan lahan. Menurutnya, pemindahan ibu kota juga merupakan agenda terselubung pemerintah guna menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh beberapa korporasi yang wilayah konsesinya masuk dalam wilayah IKN.

Melansir catatan JATAM Kaltim, terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN di mana tanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan pasca tambang seharusnya dilakukan oleh korporasi, tapi diambil alih dan menjadi tanggung jawab negara.

“RUU IKN disosialisasikan secara tertutup, termasuk pada saat kegiatan konsultasi publik RUU IKN yang diadakan di salah satu kampus terbesar di Kalimantan Timur, Universitas Mulawarman, Samarinda pada 11 Januari 2022 yang mendapat penolakan dari Koalisi Kaum Muda Kaltim Anti Oligarki,” ujar Pradarma R, perwakilan dari Jatam Kaltim.  

Sikap Pemerintah yang memaksakan pemindahan ibu kota mencerminkan tidak sensitifnya rezim Jokowi–Ma’ruf Amin terhadap kondisi masyarakat yang tengah sulit setelah hampir 2 tahun dilanda pandemi covid-19 di mana banyak warga yang mengalami penurunan ekonomi. Dana yang digunakan untuk mewujudkan pemindahan ibu kota akan sangat lebih berguna apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara (kesehatan, pendidikan, dan lain-lain) yang sedang mengalami kesulitan.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat Kaltim menyatakan menolak RUU IKN menjadi UU dengan 3 alasan. Pertama, rencana pemindahan IKN sama sekali tidak memiliki dasar kajian kelayakan yang meliputi aspek kemaslahatan, keselamatan, dan kedaulatan umat (manusia, dan non manusia) dan cenderung dipaksakan, sehingga berpotensi mengancam, menghancurkan dan menghilangkan ruang hidup masyarakat.

Kedua, mendesak pemerintah untuk mencabut dan membatalkan UU IKN karena cacat prosedural dan tidak menjawab persoalan yang dihadapi rakyat Indonesia saat ini. Ketiga, mendesak pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan krisis yang terjadi di Jakarta dan Kalimantan Timur, bukan pemindahan ibu kota baru.

Tags:

Berita Terkait