Ahli Usulkan 4 Tahap Setelah Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja
Terbaru

Ahli Usulkan 4 Tahap Setelah Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja

Mulai dari memecah UU Cipta Kerja menjadi beberapa UU sesuai klaster; merevisi UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; segera bentuk badan/lembaga pembentukan peraturan perundang-undangan; proses perbaikan UU Cipta Kerja harus dilakukan secara keseluruhan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ahli Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar. Foto: ADY
Ahli Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar. Foto: ADY

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus permohonan perkara uji formil dan uji materiil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hasilnya, dari 12 permohonan baik uji formil dan/atau materiil, hanya 1 permohonan yang dikabulkan sebagian yakni pengujian formil perkara No.91/PUU-XVIII/2020.

Salah satu kuasa hukum pemohon uji formil perkara No.6/PUU-XIX/2021, M Imam Nasef, mengapresiasi putusan tersebut walaupun isinya terkesan kompromi karena isinya menyatakan UU No.11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat.

“Putusan MK ini memberikan konfirmasi terhadap polemik selama ini terkait UU No.11 Tahun 2020 dimana banyak pelanggaran dalam proses pembentukannya,” kata Imam dalam diskusi secara daring bertema Babak Baru UU Cipta Kerja, Senin (29/11) lalu.

Putusan ini mengukir sejarah karena kali pertama MK mengabulkan sebagian permohonan uji formil. Dalam putusan itu, Imam berpendapat MK mengamanatkan sebelum dilakukan perbaikan terhadap UU No.11 Tahun 2020 harus dibuat terlebih dulu landasan hukumnya. Metode dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan terutama omnibus law harus dituangkan dalam regulasi.

Sebagaimana diketahui aturan yang selama ini menjadi pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yakni UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diperbarui melalui UU No.15 Tahun 2019. (Baca: Pasca Putusan MK, Pemerintah Tegaskan OSS Tetap Layani Perizinan Usaha)

MK juga menekankan pentingnya meaningful participation dalam proses penyusunan. Misalnya para pemangku kepentingan harus diberikan naskah RUU dan diakomodir masukannya. Imam menyebut MK juga menemukan ada substansi UU No.11 Tahun 2020 yang diubah setelah persetujuan pembicaraan tingkat II. MK membandingkan dokumen UU No.11 Tahun 2020 yang disahkan 5 Oktober 2020 dengan yang diundangkan.

Putusan MK ini memicu polemik di masyarakat karena dalam amar putusannya MK menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.”

UU No.11 Tahun 2020 dinyatakan masih berlaku sampai dilakukan perbaikan sebagaimana jangka waktu yang diberikan tersebut. Tapi MK juga menangguhkan semua kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020.

Pernyataan Presiden Jokowi belum lama ini yang menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tetap berlaku menurut Imam kurang tepat. Pihak yang paling tepat untuk menjelaskan putusan ini yakni MK dengan mengeluarkan fatwa. Melalui fatwa itu diharapkan dapat menyudahi polemik terkait tafsir terhadap putusan tersebut.

Ahli Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, menilai putusan MK beberapa waktu terakhir relatif ambigu dan tidak menyelesaikan masalah. Ini terjadi karena putusan lahir dari proses kompromi. Soal fatwa MK terkait putusan ini, Zainal malah khawatir yang terjadi nanti fatwa tersebut melenceng dari isi putusan. 

“Walau memang pihak yang paling tepat untuk menjelaskan putusan ini, ya MK,” ujarnya.

Zainal mengusulkan sedikitnya 4 tahap yang dapat dilakukan menindaklanjuti putusan MK itu. Pertama, secara teknis UU Cipta Kerja bisa dipecah menjadi 11 UU sesuai dengan klaster yang ada. Proses tersebut akan memudahkan dan lebih fokus menyerap masukan masyarakat sesuai dengan klasternya. 

Kedua, landasan hukum yang akan digunakan untuk menerapkan metode dan prosedur omnibus law. Ketiga, proses perbaikan UU No.11 Tahun 2020 mulai dari penyusunannya perlu dilakukan lewat lembaga pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana mandat UU No.15 Tahun 2019.

Keempat, perbaikan UU No.11 Tahun 2020 harus dimulai lagi dari awal yakni secara keseluruhan mulai dari naskah akademik. Itu sebabnya MK memberikan jangka waktu selama 2 tahun agar proses untuk mengubah UU No.11 Tahun 2020 secara keseluruhan bisa berjalan baik. 

“Kalau membenahi hanya secara formal saja, maka MK tidak akan memberi waktu 2 tahun, tapi 2 bulan saja cukup,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait