Begini Pandangan Pakar Terkait Putusan Pengujian UU Cipta Kerja
Terbaru

Begini Pandangan Pakar Terkait Putusan Pengujian UU Cipta Kerja

DPR dan Pemerintah wajib mempelajari baik-baik pertimbangan putusan MK tersebut baik memperbaiki proses legislasi maupun materi UU Cipta kerja seperti yang diperintahkan MK.

Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja meskipun ada 4 hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Dalam amar putusannya, MK menyatakan UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dan inkonstitusional bersyarat dengan menentukan beberapa implikasi atas berlakunya UU tersebut. Sebab, proses penyusunan UU Cipta Kerja tersebut tidak memenuhi asas, metode, baku/standar, sistematika pembentukan peraturan.   

Ada beberapa hal yang termuat dalam amar putusan MK bernomor 91/PUU-XVIII/2020 ini. Pertama, menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan”.

Kedua, menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Kelima, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Menanggapi putusan MK ini, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan putusan MK itu patut diapresiasi. Dia menilai putusan MK tersebut mengkonfirmasi buruknya proses perumusan UU Cipta Kerja ini. “Bila tidak ada putusan MK ini, maka praktik buruk ini bisa mendapat legitimasi, sehingga mungkin akan terus berulang di kemudian hari,” kata Bivitri Susanti saat dikonfirmasi Hukumonline, Kamis (25/11/2021).

Dia melihat putusan MK ini ada 4 dari 9 hakim yang berpendapat berbeda. Putusan ini memang seperti “jalan tengah”, yang sesungguhnya menimbulkan kebingungan karena putusan ini sebuah proses legislasi inkonstitusional. Artinya, sebenarnya sebuah produk yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional ini juga inkonstitusional, sehingga tidak berlaku.

“Tetapi putusan ini membedakan antara proses dan hasil. Sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU-nya tetap konstitusional dan berlaku,” kata dia. (Baca Juga: Dinilai Cacat Formil, MK Putuskan Status Keberlakuan UU Cipta Kerja)

Menurutnya, pengujian formil UU Cipta Kerja yang dikabulkan ini adalah pertama dalam sejarah. “Tidak mungkin MK bisa menolak lagi permohonan uji formil ini karena memang segala cacat formil yang didalilkan para pemohon cukup sederhana untuk dibuktikan di persidangan. Bahkan cukup kasat mata bagi publik, seperti tidak adanya naskah akhir sebelum persetujuan,” ujarnya.  

Di sisi lain, bila melihat rekam jejak MK, bagaimana MK selalu melakukan pertimbangan politik, tidak hanya hukum. Karena itu, jalan keluarnya adalah putusan conditionally unconstitutional atau putusan inkonstitusional bersyarat selama 2 tahun. Meski dikabulkan, sebenarnya ini bukan sebuah “kemenangan” bagi pemohon karena UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai 2 tahun lagi.

“Yang masih bisa sedikit melegakan adalah karena tidak boleh lagi ada peraturan pelaksana (PP dan Perpres yang diperintahkan secara eksplisit untuk dibuat, red) dalam 2 tahun ini. Tetapi inipun berarti, peraturan pelaksana yang sudah ada dan juga penuh kritik, masih tetap berlaku,” jelasnya.

Tak hanya itu, DPR dan Pemerintah wajib mempelajari baik-baik pertimbangan putusan MK tersebut untuk memperbaiki proses legislasi dalam upaya memperbaiki UU Cipta kerja seperti yang diperintahkan MK. Utamanya, semua asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus dipenuhi secara substantif. Dua tahun bukan waktu yang sedikit untuk memulai kembali proses legislasi ini.

“Kita semua harus mengawasi apakah pemerintah benar-benar menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dan tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja?”

Tags:

Berita Terkait