BP2N Minta DPR Segera Merevisi UU Perfilman
Berita

BP2N Minta DPR Segera Merevisi UU Perfilman

Isi UU Perfilman yang masih berlaku dirasa sudah tidak lagi sesuai perkembangan perfilman akhir-akhir ini. Dirasa perlu agar undang-undang itu segera direvisi atau dibentuk yang baru.

Zae
Bacaan 2 Menit
BP2N Minta DPR Segera Merevisi UU Perfilman
Hukumonline

 

Oleh sebab itu Djonny berharap sekali Komisi X DPR membantu mempercepat revisi terhadap undang-undang itu. Pasalnya, dia melihat pihak pemerintah sepertinya kurang responsif terhadap kebutuhan perubahan undang-undang ini. "Kalau ada dorongan dari DPR, saya yakin pemerintah akan lebih cepat tanggap," harap Djonny.

 

Dalam kesempatan itu Djonny juga mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah baik terhadap perkembangan perfilman maupun BP2N. "Lembaga ini dibentuk oleh pemerintah, namun sampai saat ini tidak ada anggaran khusus untuk BP2N," keluhnya.

 

Kebijakan pemerintah

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Komisi B BP2N, Rudy Sanyoto. "Kami ingin undang-undang itu disempurnakan untuk kemajuan perfilman nasional," ujarnya.

 

Undang-undang itu, menurut Rudy mengamanatkan pemerintah ikut mendorong pertumbuhan perfilman nasional. Namun kenyataannya, kebijakan yang diambil pemerintah ternyata tidak sejalan dengan undang-undang itu.

 

Rudy mengambil contoh tarif bea masuk bahan baku film yang naik belakangan ini dari sekitar 5 persen menjadi 10 persen. Di lain pihak, bea masuk film impor justru diturunkan dari 30 persen menjadi 10 persen.

 

"Barang mentah biayanya sama dengan barang jadi, bagaimana bisa bersaing," tukas Rudy. Ia menambahkan, semua ini terjadi akibat undang-undang yang ada tidak bisa memberikan perlindungan terhadap pertumbuhan film nasional.

 

Meski demikian Rudy sadar bahwa proses pergantian satu undang-undang akan memakan waktu yang tidak sedikit. Dia mengusulkan agar pemerintah dan DPR mengeluarkan payung hukum sementara baik berupa Perpu atau lainnya agar BP2N bisa bertindak cepat untuk membenahi perfilman Indonesia saat ini.

 

Sebagian anggota Komisi X merespon masukan BP2N dengan menyatakan bahwa UU Perfilman saat ini selain kurang melindungi pertumbuhan perfilman di Indonesia, juga kurang melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang bisa ditimbulkan oleh industri perfilman.

 

Anggota Komisi X, Elviana, mengatakan bahwa banyak sekali keluhan anggota masyarakat terhadap pengaruh buruk dari film-film yang saat ini banyak beredar. "Jadi mudah-mudahan hal ini bisa diperbaiki melalui perubahan undang-undangnya," jelasnya.

 

Seemntara, anggota Komisi X lainnya, Dedy Sutomo, yang juga berprofesi sebagai bintang film dan sinetron ini menyadari benar betapa perlunya undang-undang ini perlu direvisi.

Demikian ditegaskan oleh Ketua Pelaksana Harian Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), Djonny  Syafruddin, saat melakukan dengar pendapat umum dengan pimpinan dan anggota Komisi X DPR-RI di Jakarta, (30/5).

 

Djonny mengatakan, media film relatif tertinggal dibanding dengan media cetak dan media penayangan. Bidang pers dan penyiaran, menurutnya sudah mempunyai undang-undang yang relatif lebih baru dibanding bidang perfilman.

 

"Sampai saat ini dirasakan media film masih terbelenggu dengan ketentuan hukum yang diwariskan oleh Orde Baru," tegas Djonny. Undang-undang dimaksud adalah UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang belum pernah tersentuh oleh perubahan sampai saat ini.

 

Substansi UU Perfilman saat ini, di mata Djonny, dirasakan tidak kondusif untuk perkembangan perfilman di Indonesia. Bahkan, hal itu telah menyebabkan pertumbuhan perfilman mencapai titik nadir yang membahayakan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: