Kajian Ini Simpulkan Abu Batu Bara Masuk Kategori Limbah B3
Utama

Kajian Ini Simpulkan Abu Batu Bara Masuk Kategori Limbah B3

Pemerintah perlu mengembalikan pengaturan hasil pembakaran batu bara, seperti termuat dalam PP No.101 Tahun 2014 yakni abu batu bara masuk kategori limbah B3. Selain itu, melakukan analisis risiko dan biaya-manfaat mencakup juga biaya kesehatan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sejumlah aktivis menggelar aksi penolakan FABA sebagai limbah non-B3, Kamis (18/3/2021) lalu. Mereka menuntut Presiden Jokowi mencabut regulasi yang menghapus FABA dari daftar limbah B3. Foto: RES
Sejumlah aktivis menggelar aksi penolakan FABA sebagai limbah non-B3, Kamis (18/3/2021) lalu. Mereka menuntut Presiden Jokowi mencabut regulasi yang menghapus FABA dari daftar limbah B3. Foto: RES

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Bersihkan Indonesia fokus menyoroti PP No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beleid yang ditetapkan Presiden Joko Widodo 2 Februari 2021 ini sejak awal dikritik karena memuat ketentuan yang dinilai merugikan lingkungan hidup, salah satunya menghapus limbah hasil pembakaran batu bara dari kategori bahan berbahaya beracun (B3).

Padahal, dalam peraturan sebelumnya seperti PP No.101 Tahun 2014 memasukan abu hasil pembakaran batu bara dalam kategori limbah B3. Kalangan organisasi masyarakat sipil mencatat banyak laporan dan fakta terjadinya perubahan dan penurunan kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU. Seperti diketahui, batu bara merupakan bahan bakar utama yang digunakan PLTU.

Advokat Publik LBH Padang, Indira Suryani, memberikan contoh masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat, lingkungannya terdampak limbah hasil pembakaran batu bara baik itu berupa abu terbang (fly ash) maupun abu yang ditimbun di tempat pembuangan. PLTU Ombilin lokasinya sangat dekat pemukiman padat penduduk di desa Sijantang, berjarak kurang dari 50 meter.

“Rumah warga selalu dipenuhi debu terbang hasil pembakaran batu bara PLTU, membuat masyarakat menderita sakit pernapasan, seperti batuk dan peradangan,” kata Indira Suryani dalam peluncuran “Laporan Risiko Kelabu Abu Batu Bara”, Rabu (21/4/2021). (Baca Juga: Penghapusan Abu Batubara dari Kategori Limbah B3 Dinilai Langgar Konstitusi)

Kondisi serupa juga dialami warga Cilacap yang bertempat tinggal di sekitar PLTU. Advokat Publik LBH Yogyakarta, Danang Kurnia Awami, menyebut hasil pembakaran batu bara PLTU Karangkadri, Cilacap, ditumpuk di tempat terbuka dan mudah diakses warga. Masyarakat tidak mengetahui kalau tumpukan itu adalah abu hasil pembakaran batu bara yang merupakan limbah B3.

“Limbah tersebut ketika tertiup angin berterbangan, menutupi daun, mengganggu kesehatan dan kenyamanan masyarakat. Pengaduan yang disampaikan masyarakat kepada pemerintah hanya menghasilkan rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tidak menuntaskan masalah,” ujar Danang Kurnia Awawi.  

Penulis Laporan Risiko Kelabu Abu Batu Bara ini, Margaretha Quina, memaparkan 5 poin dari hasil kajian tentang hasil pembakaran batu bara. Pertama, timbulan abu batu bara dari PLTU meningkat 9,7 juta ton tahun 2019. Sebanyak 25 persen dari timbulan abu itu ditimbun, dan hanya 2 persen yang dimanfaatkan. Sisanya 75 persen ada di tempat pembuangan sementara limbah B3. Data KLHK menyebut hanya ada 2,9 juta ton abu, berbeda dengan data Kementerian ESDM yang menunjukkan ada lebih dari 9 juta ton di tahun 2019.

Tags:

Berita Terkait