Kebijakan dalam Segala Cuaca
Tajuk

Kebijakan dalam Segala Cuaca

​​​​​​​Dalam sejarah perjalanan Republik ini, perubahan kebijakan mendadak, baik ditujukan untuk perbaikan tata kelola pemerintahan dan dunia usaha, ataupun karena kepanikan, telah sering terjadi.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Di bidang lainnya, khususnya di bidang investasi dan ekonomi, kita juga seringkali dihadapkan pada sejumlah krisis keuangan yang melanda dunia, kawasan maupun negeri kita sendiri. Krisis-krisis tersebut ditanggapi dengan perubahan kebijakan yang kerap berbeda.

 

Kadang dengan persiapan yang cukup sehingga krisis bisa diredam dengan baik, tetapi kadang juga dengan sikap panik karena kecepatan penurunan kondisi perekonomian yang cukup bisa ditanggulangi oleh infrastruktur sistem perekonomian kita yang ada, ketidak-siapan atau keraguan pejabat pembuat keputusan, atau faktor dimensi atau sensitivitas lain yang mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan.

 

Pada krisis ekonomi dan moneter tahun 1998, yang merupakan krisis kawasan Asia, kita sama sekali tidak siap, karena kita masih berada di dalam genggaman rezim Soeharto, walaupun menjelang runtuh, tingkat korupsi yang tinggi dan merajalela, dan kelemahan institusi kenegaraan dan sistem politik, serta tata kelola pemerintahan dan dunia usaha yang buruk.

 

Bank-bank swasta dibangun menjamur seperti membangun perusahaan dagang oleh para pedagang, krisis kepercayaan akan kredibilitas perbankan rendah karena kondisi perbankan rentan karena masalah pelanggaran aturan BMPK, pemberian kredit kepada perusahaan-perusahaan pemilik, rasio-rasio keuangan yang memburuk dan angka gagal bayar yang (NPL) tinggi dari debitur-debitur yang melakukan banyak spekulasi terutama di bidang properti.

 

Penanganan krisis dimulai dengan mencoba melaksanakan peraturan yang ada, dengan antara lain melakukan likuidasi sejumlah 16 bank yang buruk kondisinya pada akhir 1997. Kondisi ini memperberat krisis ketidak-percayaan publik yang menanamkan uangnya di bank, yang mempercepat penarikan dana besar-besaran dari bank-bank di Indonesia.

 

Percaya atau tidak, katanya ada juga faktor spekulasi dari pihak-pihak asing yang sengaja ingin menjatuhkan nilai Rupiah. Kenyataannya nilai tukar Rupiah terus melorot dari Rp2.350 sampai ke suatu saat mencapai Rp16.000 per AS$1. Bunga antara bank mencapai 60% per tahun (data Bank Indonesia), yang katanya sebagai upaya menjatuhkan pemerintahan orde baru. Juga masih kelabu, adanya usaha dari sejumlah pihak yang menginginkan terjadinya perubahan kekuasaan di Indonesia dengan memperburuk krisis keuangan dan moneter ini menjadi krisis multi dimensional. Mungkin sejarah nanti akan berhasil mengungkap semua fakta tadi menjadi suatu rangkaian cerita yang layak menajadi pelajaran bangsa ini.

 

Penanganan krisis kemudian berlanjut dengan dikeluarkannya suatu Kepres (Kepres no 27 tahun 1998) yang ditandatangani oleh Soeharto di awal 1998 mengenai pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Karena Kepres tidak bicara banyak mengenai bagaimana krisis harus ditangani, maka penanganan krisis, dalam hal ini pengambil-alihan, pembekuan dan pengambilan manajemen bank bermasalah, kerangka penyelesaian bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan pengambil-alihan aset-aset bank dalam rangka penyelesaian tersebut dilakukan dengan menggunakan peraturan perundangan yang tersedia, termasuk Undang-undang Bank Indonesia, Undang-undang Perbankan, peraturan-peraturan lain dan praktik terbaik yang diterima oleh dunia hukum dan perbankan, termasuk perjanjian-perjanjian penyelesaian dengan pihak pemegang saham bank dan manajemen bank.

Tags:

Berita Terkait