Kebijakan dalam Segala Cuaca
Tajuk

Kebijakan dalam Segala Cuaca

​​​​​​​Dalam sejarah perjalanan Republik ini, perubahan kebijakan mendadak, baik ditujukan untuk perbaikan tata kelola pemerintahan dan dunia usaha, ataupun karena kepanikan, telah sering terjadi.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Sayangnya, kebijakan KSSK yang sudah tepat dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dipolitisir habis yang menimbulkan kehebohan yang sangat tidak produktif. Kebijakan tersebut diterapkan pada masa krisis berdasarkan data sahih yang tersedia dan tidak terbantahkan, dan memenuhi semua kriteria yang diberikan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

 

Kita sudah belajar dari penanganan krisis keuangan dan moneter 1998, tetapi dalam kasus Century terbukti kita tidak mampu menerapkan pembelajaran tersebut. Kita perlu tahu bahwa dalam kasus Century tidak ada penyelamatan Bank Century itu sendiri, tetapi yang menjadi dasar pemikiran kebijakan tersebut adalah dalam rangka mencegah bank-bank sejenis Bank Century menjadi runtuh begitu Bank Century dibiarkan runtuh.

 

Kebijakan tersebut karenanya lebih merupakan kebijakan penyelamatan sistem perbankan nasional. Kalau ada yang aneh dalam aliran uang Bank Century setelah bail out, tentu PPATK sudah menyalakan lampu merah kepada KPK dan penegak hukum lainnya. Tidak ada suatupun keputusan pengadilan atau otoritas lainnya yang menyatakan adanya aliran uang yang mencurigakan, apalagi untuk tujuan-tujuan politik. 

 

Dari dua kebijakan di atas, kebijakan BLBI 1998 dan kebijakan bail out Bank Century 2008, kita bisa membandingkan bagaimana kebijakan dalam kondisi krisis dibuat dan diterapkan. Dalam kasus pertama, kita tidak siap dan ekonomi kita hampir saja runtuh, bahkan hal tersebut sekaligus mengancam keberadaan Indonesia sebagai negara karena dampak multidimensional yang dibawanya. Dalam kasus kedua, kita siap, tetapi tidak mampu menerapkan pelajaran dari kasus pertama. Sungguh suatu cara buang-buang waktu dan enerji secara masif yang merugikan kita semua sebagai bangsa.

 

Baru-baru ini kita memperhatikan ada sejumlah kebijakan lain, yang tidak semasif kebijakan BLBI dan Century, tetapi mengundang kerenyit di dahi dan berdampak besar terhadap sejumlah industri terkait. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang domestic market obligation (DMO) kepada perusahaan-perusahaan tambang batu bara, dengan mengharuskan mereka untuk menjual 25% produknya (dari rencana jumlah produksi tahun 2018 yang telah disetujui oleh Pemerintah) ke pasar dalam negeri dengan harga acuan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

 

Kebijakan tersebut dipicu oleh kesulitan PLN dalam pengadaan batubara untuk pembangkit listrik karena harga batubara dunia yang terus meningkat pada tahun 2017-2018 (walaupun sekarang cenderung turun lagi). Tingginya harga batubara akan mengharuskan PLN untuk meningkatkan harga jual listriknya kepada konsumen. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan, dan sudah bertahun-tahun jadi konsumsi politik, karena menaikkan tarif listrik sangat tidak populer bagi penguasa yang selalu ingin mempertahankan kekuasaannya.

 

Kebijakan ini segera menimbulkan kegelisahan di kalangan industri tertentu terutama industri tambang batubara. Sejumlah perusahaan tambang besar masih dapat bertahan karena masih memperoleh marjin yang cukup (walaupun mengecil) dari pelaksanaan kebijaksanaan DMO. Sejumlah perusahaan tambang dengan jenis kalori rendah sudah hampir gagal bertahan dengan kondisi pas-pasan, karena mereka sudah beroperasi dengan merugi. Kalau ini dipaksakan terus, tidak aneh kalau mereka bisa segera gulung tikar.

 

Di sisi lain, tiba-tiba, dengan tergerusnya daya tahan nilai tukar Rupiah, ekonomi kita bisa terancam, dan anggaran belanja negara harus diselamatkan. Caranya, kata para ekonom, tentu dengan antara lain menggenjot ekspor produk-produk Indonesia, sehingga perolehan pendapatan ekspor dalam mata uang asing akan membantu kita mengurangi ancaman itu. Seorang Menteri Senior segera "menjanjikan" bahwa kebijakan DMO akan dicabut segera, sehingga produk yang seharusnya dijadikan obyek DMO bisa dijual ekspor untuk menarik devisa. Dalam waktu beberapa jam saja, Menteri lain yang membidangi industri pertambangan langsung membantah bahwa pemerintah akan mencabut kewajiban DMO.

 

Kita tidak tahu persis apa yang sedang terjadi di kabinet, sehingga dua Menteri berbantahan dalam forum publik mengenai suatu kebijakan penting Pemerintah. Tentu pelaku usaha di bidang ini tidak ingin berspekulasi, karena produksi, penjualan, pendapatan, keuntungan, dividen, dan pajak semua harus dihitung dan dialokasikan secara ketat dengan pihak birokrat, perbankan, pemegang saham (publik), karyawan, pembayaran pajak, program CSR dan lain-lain sebagaimana mungkin telah dijanjikan.

 

Kebijakan pertama dan kedua mungkin dipicu oleh sikap panik karena harus segera beradaptasi dengan perubahan kondisi mendadak di luar perhitungan pemerintah dan pelaku usaha. Kebijakan yang berubah-ubah memaksa perubahan pada rencana bisnis pelaku usaha, suatu kewajiban yang juga diharuskan oleh peraturan perundangan yang berlaku.

 

Dalam sejarah perjalanan Republik ini, perubahan kebijakan mendadak, baik ditujukan untuk perbaikan tata kelola pemerintahan dan dunia usaha, ataupun karena kepanikan, telah sering terjadi. Ini bukan khas Indonesia. Tetapi Indonesia mempunyai tempat khusus di hati investors manakala kita bicara tentang konsistensi kebijakan.

 

Ke depan, akan banyak lagi perubahan-perubahan besar terjadi yang dipicu oleh perubahan-perubahan cepat di dunia karena perang dagang dunia, konstalasi politik dalam negeri hasil pemilu, pola hidup masyarakat, arah teknologi yang menuju ke basis digital penuh, sistem pembayaran, tumbuhnya generasi millenial dengan etos dan cara kerja yang secara total berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, dan lain-lain.

 

Big data yang tersedia dalam genggaman kita belum mampu kita olah dan analisa menjadi data yang siap pakai untuk dijadikan dasar dari risk-based decision making. Para politisi dan pejabat kita belum satu kata dalam memandang bahwa setiap keputusan yang diambil tetap harus dengan mengutamakan kepentingan terbaik negara. Penguasa bisa berganti, tetapi kebijakan seharusnya tidak melulu dibuat untuk kepentingan sesaat penguasa, pelaku usaha tertentu atau kelompok tertentu.

 

Mengeluarkan kebijakan karenanya patut disikapi bahwa ini berlaku untuk segala kondisi. Baik dalam kondisi normal maupun krisis. Bangsa yang kerap dihadang krisis harus mampu untuk menerapkan kebijakan yang baik dalam kondisi krisis, seberat apapun juga. Ketersediaan data, kemampuan analisis yang terlatih baik, teknologi penunjang yang semakin canggih, dan kesadaran yang tinggi untuk menyelenggarakan negara untuk kepentingan semua orang dan golongan, sudah seharusnya membuat kita mampu mengendalikan perahu Republik dan orang-orang di dalamnya dalam badai yang sehebat apapun.

 

Ats, Agustus 2018

Tags:

Berita Terkait