Kedudukan Resolusi DK PBB dalam Sistem Hukum Indonesia
Kolom

Kedudukan Resolusi DK PBB dalam Sistem Hukum Indonesia

Perlu disusun formulasi khusus yang ideal untuk menyusun Resolusi DK-PBB dalam regulasi nasional.

Bacaan 2 Menit
Sakafa Guraba. Foto: Istimewa
Sakafa Guraba. Foto: Istimewa

Resolusi Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) merupakan pernyataan resmi dari keputusan Dewan Keamanan PBB sangat berbeda dengan resolusi yang dikeluarkan oleh badan-badan utama lainnya seperti Majelis Umum PBB (MU-PBB), The Economic and Social Council (ECOSOC) dan Dewan Perwalian. Keputusan-keputusan dari ketiga badan utama tersebut bersifat resolusi yang mempunyai dua ciri yaitu bersifat mengikat atau tidak rekomendatif (interna corporis) dan bersifat rekomendatif atau tidak rekomendatif (externa corporis).

Berbeda dengan badan utama lainnya Keputusan Dewan Keamanan PBB pada dasarnya bersifat mengikat secara hukum, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 25 Piagam PBB yang mengatur bahwa negara anggota menerima dan melaksanakan keputusan Keputusan Dewan Keamanan PBB sesuai dengan Piagam (Legally Binding).

Keputusan Dewan Keamanan PBB yang bersifat  mengikat secara hukum kepada anggotanya, sering diperdebatkan dalam berbagai forum karena dirasa tidak bersesuaian dengan prinsip hukum perjanjian internasional yakni prinsip pacta tertiis nee nocent nee prosunt karena semua keputusan-keputusan itu bisa mengikat kepada negara-negara yang bukan merupakan anggota PBB (negara yang tidak meratifikasi Piagam dan Statutanya) seperti tersebut dalam Pasal 2 ayat (6) Piagam dan Pasal 49 Piagam.

Piagam PBB sebagai konstitusi PBB juga telah mengatur mengenai sanksi terhadap pelanggaran Keputusan Dewan Keamanan PBB yang dilakukan negara anggota terhadap Keputusan Dewan Keamanan PBB, antara lain Penangguhan Hak-Hak Istimewa Sebagai Anggota PBB (Pasal 5 Piagam PBB), Pengusiran Suatu Negara dari Ke-Anggotaan PBB (Pasal 5 Piagam PBB), Pengenaan Embargo Ekonomi (Pasal 41 Piagam PBB), dan Pengenaan Sanksi Militer (Pasal 42 Piagam PBB).

Konsep Monisme dan Dualisme

Konsep monisme dan dualisme sering digunakan dalam menggambarkan dua teori berbeda tentang hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan terkait aliran sistem hukum nasional yang menganut Konsep Monisme atau Konsep Dualisme.

Secara umum sistem hukum nasional menganut konsep Hukum Dualisme yang keberlakuan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional harus melalui transformasi dan adopsi, Hal tersebut sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan yang dapat dilihat perlu dilakukan transformasi hukum internasional dalam produk hukum nasional.

Pemberlakukan hukum internasional dalam hal ini Resolusi Dewan Keamanan PBB dalam produk legislasi nasional tidak dapat dimaknai hanya sebatas peralihan bentuk keputusan organisasi internasional dalam bentuk perundang-undang nasional, namun diperlukan formulasi khusus untuk mentransformasikan Resolusi Dewan Keamanan PBB dalam hukum nasional.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait