Ketua STH Indonesia Jentera: Penguasa Sekarang Lebih Buruk daripada Orba
Utama

Ketua STH Indonesia Jentera: Penguasa Sekarang Lebih Buruk daripada Orba

Karena melakukan pengekangan dan tekanan ketika konstitusi dan UU yang terbit setelah reformasi mendukung dibangunnya praktik demokrasi yang sehat.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Celakanya, pemerintah saat ini menggunakan aturan hukum yang ditafsirkan sendiri (semaunya, red), serta menggunakan badan peradilan dan keputusan Mahkamah tertinggi yang tidak bisa dilakukan upaya banding dan dianggap semua itu sah-sah saja. Pemilu Indonesia tahun 2004-2019 walau masih belum sempurna, tapi mendapat apresiasi masyarakat internasional. Bahkan, Indonesia dinyatakan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Tapi, Arief menghitung prestasi itu tak bertahan lama karena sejak akan mulai pandemi Covid-19 melanda, terjadi pemburukan demokrasi di Indonesia secara sistematis. Dimulai membungkam KPK melalui revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi - kini menjadi UU No.19 Tahun 2019-, proses legislasi serampangan tanpa partisipasi publik, dan membangun koalisi dengan meniadakan oposisi agar bisa mengendalikan parlemen. Ini memang bukan tindakan melawan hukum, tapi ujungnya menarik kekuasaan ke satu tangan.

Tak berhenti sampai disitu, Arief menjelaskan langkah skakmat dilakukan jelang Pemilu 2024 dengan menggunakan ‘tangan’ Mahkamah Konstitusi (MK), KPU, bantuan sosial (bansos) besar-besaran, dan penuh keanehan. Hal ini membuka mata semua orang bahwa demokrasi ala Pemilu 2024 bagai obat bius yang membuat pingsan sejenak dan ketika terbangun langsung membuat syok.

Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat dan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Bidang Studi Hukum Pidana STH Jentera Indonesia Jentera Asfinawati melanjutkan masa awal reformasi 1998 banyak bermunculan UU yang bernuansa kebebasan. Tapi, tahun 1999 ada rencana muncul kembali otoritarian yang dapat dilihat dari ketentuan yang menyebut pembatasan hak politik yakni yang bisa mencalonnkan Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik.

“Kran kebebasan dibuka, tapi kebebasan poltiik dibatasi pada saat yang sama,” ujarnya.

Pada pertengahan era reformasi kebebasan masih dominan ketimbang penyempitan ruang demokrasi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Masyarakat bisa demonstrasi sampai depan Istana Kepresidenan. Tapi, reformasi hanya tertulis di atas kertas dan tidak pernah dijalankan sampai tuntas. Konsolidasi elit terus bergulir salah satunya melalui proses pemilu dan mulai muncul produk legislasi yang membatasi demokrasi.

Masa akhir reformasi ditandai dengan pembatasan kebebasan masyarakat sipil lebih vulgar dan masif. Pemilu juga sudah tuntas dibajak karena kembalinya konsolidasi elit melalui pemilu. Tapi di tengah berbagai situasi yang suram itu, Asfin yang merupakan mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu masih melihat secercah harapan.

Ada kesadaran publik bahwa reformasi luput membawa konsep perubahan mendasar tentang sistem hukum, politik, dan ekonomi. Reformasi 1998 merupakan pembaruan melalui negosiasi elit poltik. Pemilu menjadi kendaraan para elit politik. Oleh karena itu, menurutnya, ke depan perlu pembaruan yang berbasis rakyat biasa tanpa negosiasi elit.

Tags:

Berita Terkait