KPK Dinilai Contempt of Parliament
Berita

KPK Dinilai Contempt of Parliament

KPK menganggap tindakan memanggil tersangka atau tahanan yang sedang diperiksa KPK dapat diartikan obstruction of justice. Pansus bakal kembali memanggil Miryam untuk kedua kalinya.

Oleh:
RFQ/ANT
Bacaan 2 Menit
Miryam diperiksa KPK sebagai tersangka kasus pemberian keterangan palsu pada sidang perkara korupsi proyek pengadaan KTP elektronik.
Miryam diperiksa KPK sebagai tersangka kasus pemberian keterangan palsu pada sidang perkara korupsi proyek pengadaan KTP elektronik.
Rapat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK mulai digelar dengan mengagendakan pemanggilan terhadap tersangka kasus pemberian keterangan palsu, Miryam S Haryani. Namun status Miryam yang kini dalam tahanan KPK, tak diperbolehkan oleh lembaga antirasuah itu memenuhi panggilan Pansus Hak Angket.

Melalui suratnya, KPK menilai upaya menghadirkan Miryam dapat dikualifikasikan sebagai tindakan mencegah, merintangi, menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan (obstruction of justice). Demikian bunyi surat KPK yang dibacakan oleh Wakil Ketua Pansus Hak Angket Taufikul Hadi, di Gedung DPR, Senin (19/6) kemarin.

Mendengar sikap dan jawaban KPK tersebut, sontak semua anggota Pansus Hak Angket KPK nampak geram. Anggota Pansus, Junimart Girsang bukan kepalang kesalnya. Ia menilai langkah KPK justru sebagai bentuk ancaman terhadap anggota Pansus. Soalnya, anggota Pansus yang hadir ini dapat dijerat pasal menghalangi penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di persidangan.

Padahal, Pansus Hak Angket ingin mengkonfirmasi surat pernyataan Miryam terkait ada tidaknya ancaman sebagaimana dimaksud penyidik KPK. Setidaknya, kata Junimart, dengan menghadirkan Miryam dapat membuat terang dengan klarifikasi perihal tudingan ancaman sejumlah anggota Komisi III DPR terhadap Miryam dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.

Atas dasar itu, sikap KPK tersebut dinilai telah melecehkan lembaga DPR. “Dan surat ini sudah masuk ke Contempt of Parliament. Upaya menghadirkan Miryam sebagai upaya mencegah penyidikan dan penuntutan. Karena itu kita bisa ditangkap KPK,” ujarnya. Baca Juga: Pasal Ini Jadi Alasan Hak Angket Berbahaya Bagi Independensi KPK

Anggota Komisi III DPR itu menyarankan agar Pansus membuat sikap dengan mekanisme hukum pula. Sebab, sikap menghadirkan Miryam dianggap atau dikualifikasi bentuk upaya mencegah penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan persidangan. “KPK dinilai keterlaluan. Saya minta disikapi secara hukum khususnya poin dua,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Jhon Kennedy Aziz mengatakan surat KPK khususnya terkait kualifikasi mencegah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan hingga obstruction of justice sebagai bentuk ancaman KPK terhadap anggota DPR, khususnya Parlemen. Karena itu, Anggota Pansus dari Fraksi Golkar itu menilai, Pansus mesti mengambil sikap dan langkah agar KPK memberikan klarifikasi terkait hal tersebut.

“Ini sudah terjadi Contempt of Parliament dalam kasus ini. Maka harus ditindaklanjuti. Kita mau (mereka) klarifikasi terkait surat itu,” ujarnya.

Arsul Sani, anggota Pansus Hak Angket dari Fraksi PPP menilai isi surat KPK tersebut membahayakan hubungan antar lembaga negara. Terlebih, KPK seolah mengancam dengan obstruction of justice. Hal tersebut dinilai Arsul sebagai bentuk tidak menghargai dan menghormati KPK terhadap lembaga negara. Tak heran DPR geram terhadap KPK.

Seandainya saja DPR berniat melemahkan lembaga antirasuah itu tak perlu membentuk Pansus Hak Angket, apalagi lewat revisi UU KPK. Dengan cara menggunakan kewenangan hak budgeting, KPK dapat diminimkan anggarannya. Namun, DPR tak menginginkan hal tersebut lantaran tetap mendukung pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

Dalam hukum pidana, obsctruction of justice dikualifikasikan sebagai tindakan kriminal. Berdasarkan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi mengatur upaya menghalang-halangi penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal 21 menyebutkan, Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 dan paling banyak Rp. 600.000.000,00”.

Sedangkan Pasal 221 ayat (1) KUHP mengancam pihak yang menghalang-halangi proses hukum dipidana sembilan bulan. “Setiap orang yang melakukan tindakan menghalang-halangi proses hukum harus dipidana dan diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.

Di ujung rapat Pansus, Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK Dossy Iskandar Prasetyo  berpendapat sikap KPK melalui suratnya dapat dikategorikan sebagai bentuk contempt of  parliament. Namun demikian, keputusan atas sikap Pansus terkait contempt of parliament bakal dibahas dengan pimpinan Pansus terlebih dahulu. Yang pasti, Pansus bakal kembali memanggil Miryam untuk kedua kalinya.

“Jadi kita setuju Miryam akan dipanggil lagi pada panggilan kedua,” pungkas Dossy yang menjabat anggota Komisi III dari Fraksi Hanura itu. Baca Juga: Pasal Ini Jadi Alasan Hak Angket Berbahaya bagi KPK

Tak bermaksud
Terpisah, Wakil Ketua KPK Loade M Syarif mengatakan pihaknya tidak bermaksud melecehkan lembaga DPR karena menolak menghadirkan Miryam S Haryani dalam rapat Pansus Hak Angket. "KPK tidak pernah bermaksud untuk melecehkan lembaga DPR yang terhormat, KPK hanya mengutip beberapa pasal dalam UU MD3 dan UU KPK,” kata Syarif di Jakarta, Selasa (20/6/2017).

KPK memang menganggap tindakan memanggil tersangka atau tahanan yang sedang diperiksa KPK dapat diartikan obstruction of justice. "Karena proses hukum tidak boleh dicampuradukkan dengan proses politik yang proses dan substansinya dinilai oleh mayoritas pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara sebagai cacat hukum," ucap Syarif.

Sebelumnya, KPK menegaskan tidak akan menghadirkan tersangka pemberian keterangan palsu dalam sidang KTP Elektronik Miryam S Haryani meskipun sudah menerima surat dari Pansus Angket KPK DPR RI terkait pemanggilan Miryam. Surat tersebut diterima pada 15 Juni 2017 yang ditujukan kepada Ketua KPK Agus Rahardjo.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (19/6) kemarin, mengatakan alasan tidak tidak memberikan kehadiran Miryam karena masih dalam proses penahanan di KPK dan proses hukum di penyidikan, serta akan segara dilimpahkan ke pengadilan. Menurutnya, persoalan ini terkait penanganan perkara yang ada klausul sangat tegas dalam UU KPK yang wajib dipatuhi, yaitu sifat KPK sebagai lembaga yang independen sehingga pengaruh dari kekuasan manapun terkait dengan penanganan perkara tidak dilakukan.

“Karena kalau kita menengok kasus penanganan perkara itu adalah bagian turunan dari kewenangan di konstitusi diatur terkait ‘badan-badan kehakiman’ dan kami harus mematuhi hal tersebut,” tuturnya.

Ia menambahkan surat yang diterima KPK dari DPR tersebut tidak dicantumkan adanya keputusan DPR tentang pembentukan Pansus Hak Angket. "Yang dihadirkan adalah surat permintaan untuk menghadirkan Miryam. Jadi kami belum merasa cukup jelas dengan Pansus Hak Angket DPR tersebut," katanya. 
Tags:

Berita Terkait