KUHAP Beri Peluang Hakim untuk Korupsi
Berita

KUHAP Beri Peluang Hakim untuk Korupsi

Pasal 67 KUHAP seharusnya direvisi mengikuti praktik yang berlaku saat ini.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Moh Mahfud MD (tengah) saat pimpin sidang di Gedung MK. Foto: Sgp
Ketua MK Moh Mahfud MD (tengah) saat pimpin sidang di Gedung MK. Foto: Sgp

Maraknya praktik korupsi (suap) tidak hanya terjadi di lembaga eksekutif dan legislatif, tetapi juga yudikatif. Salah satu modus korupsi di yudikatif adalah jual beli putusan. Ketua MK Moh Mahfud MD mengatakan lembaga peradilan, bahkan termasuk MK sangat rawan disusupi perilaku korupsi.

“Yang lebih berbahaya, perilaku korupsi telah melanda lembaga yudikatif dengan cara jual beli putusan,” ujar Mahfud dalam acara penandatangan nota kesepahaman dengan PPATK, Senin (7/1).

Menurut Mahfud, praktik korupsi di lembaga yudikatif banyak dilakukan oleh hakim dan panitera, salah satunya dengan memanfaatkan keberadaan Pasal 67 KUHAP. Pasal itu mengatur larangan putusan bebas diajukan upaya hukum banding atau kasasi oleh terdakwa atau penuntut umum. 

“Ketentuan itu, bisa menjadi celah bagi hakim dan panitera leluasa mengubah putusan (pengadilan tingkat pertama, red) dengan cara membebaskan koruptor,” kata Mahfud.

Makanya, lanjut Mahfud, pihaknya sepakat dengan pendapat MA lewat putusannya (yurisprudensi) yang tetap memperbolehkan putusan bebas bisa diajukan dikasasi.  “Tidak sedikit koruptor yang dinyatakan bersalah di tingkat kasasi yang sebelumnya dinyatakan bebas,” kata Mahfud.

Pasal 67 KUHAP menyebutkan terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.

Namun, sejak diterbitkannya Kepmenkeh No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tertanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, pengajuan kasasi atas putusan bebas dimungkinkan. Kemudian, hal ini diperkuat dengan praktik lewat yurisprudensi MA No. K/275/Pid/1983.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait