M. Hatta Ali: Hakim Harus Lebih Pintar dari Jaksa dan Pengacara
After Office

M. Hatta Ali: Hakim Harus Lebih Pintar dari Jaksa dan Pengacara

Setiap elemen penegak hukum tidak boleh saling mempengaruhi dan memberi kesempatan mencederai peradilan. Masing-masing bekerja sesuai kompetensinya.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Kerja sama ini sudah ada sebelum tahun 2010. Para hakim belajar ke sana untuk mengetahui bagaimana permasalahan hukum di sana selama beberapa bulan. Lalu sejak tahun 2010, kami membuat satu blue print, cetak biru 2010-2035. Di sana tercantum antara lain perlunya sistem kamar di Indonesia. Sebabnya karena kami merasakan sangat sulit untuk mewujudkan kepastian hukum sebelum ada sistem kamar. Sangat sulitnya karena di antara para hakim ini tidak ada yang punya spesialisasi latar belakang serta pengalaman dalam bidang hukum tertentu.

 

Oleh karena itu, dengan sistem kamar, kami sudah mulai mengelompokkan para hakim sesuai dengan latar belakang spesialisasi dan pengalaman, lalu ditempatkan di kamar masing-masing. Ada lima kamar yaitu perdata, pidana, agama, tata usaha negara, dan militer. Kalau di Belanda hanya ada tiga kamar yaitu pidana, perdata, dan pajak.

 

Hasilnya, kami merasakan penyelesaian perkara semakin cepat karena ditangani oleh yang ahli di bidangnya dan dia profesional. Kedua, dengan adanya sistem kamar maka otomatis ada konsistensi hukum karena ada kesatuan standar pengetahuan mereka di dalam kamar masing-masing. Juga menghindari putusan yang saling bertentangan satu sama lain. Adanya sistem kamar otomatis akan meningkatkan keterampilan dan profesionalitasnya dalam menangani perkara. Itulah keuntungan dari sistem kamar.

 

Mengapa kerja sama dilakukan dengan Hoge Raad Kerajaan Belanda?

Saat akan menerapkan sistem kamar, Indonesia mencari perbandingan negara mana yang paling pas. Ternyata pilihannya jatuh pada Belanda karena sistem hukumnya hampir sama.  Apalagi undang-undang yang masih banyak digunakan di Indonesia adalah peninggalan Belanda. Jadi sangat tepat kalau kita meningkatkan pembelajaran ke Belanda. Hal ini mendapatkan respons, lalu kami membuat kesepakatan kerja sama yang tujuannya melakukan penguatan terhadap sistem kamar. Penguatan terhadap sistem kamar ini banyak urgensinya antara lain perlunya ada inventarisasi putusan-putusan pengadilan. Lalu perlu juga ada konsistensi putusan. Ini yang paling penting dalam sistem kamar.

 

Kami juga menguatkan cara hakim memandang permasalahan hukum pada tingkat kasasi, apakah mengadili permasalahan question of law (judex juris)  atau question of fact (judex facti). Mahkamah Agung di Belanda hanya mengadili question of law, tidak mengadili masalah fakta karena itu kewenangan pengadilan yang lebih rendah. Pemikiran ini yang kami coba rumuskan, karena banyak hakim agung yang berasal dari pengadilan tingkat pertama dan banding masih lupa bahwa mereka bukan lagi mengadili fakta. Oleh karena itu, dia harus bisa membedakan mana yang masalah fakta dan masalah pilihan hukum.

 

Apa saja tantangan dalam program kerja sama ini?

Tantangan yang kami hadapi adalah perbedaan susunan organisasi. Di Belanda ada parket yang terdiri dari advocaten generaal dan procureur general. Mereka ini melakukan telaah dan kajian terhadap perkara yang masuk ke Hoge Raad lalu memberikannya kepada hakim agung sebagai pertimbangan atau masukan. Ini memang tidak mengikat bagi hakim. Hakim bisa saja memutus berbeda.

 

Kita tidak memiliki organisasi ini di Mahkamah Agung. Organisasi parket ini diisi tidak hanya kalangan hakim, juga oleh non hakim dari tenaga muda potensial yang menguasai permasalahan hukum untuk ikut mendukung.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait