Melihat Kembali Urgensi Lahirnya UU HPP
Utama

Melihat Kembali Urgensi Lahirnya UU HPP

UU HPP disebut sebagai sebuah reformasi di sektor perpajakan. Tantangan dalam UU HPP terdapat dalam pembuatan aturan teknisnya, yang mana diperlukan partisipasi publik untuk memberi masukan.

CR-27
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Sebagai bagian dari reformasi perpajakan untuk meningkatkan pendapatan dan juga mencapai pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan, Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) telah memperkenalkan beberapa pokok perubahan kebijakan secara simultan untuk beberapa jenis pajak.

Urgensi reformasi perpajakan di Indonesia perlu dilakukan karena beberapa alasan, salah satunya efek dari pandemi Covid-19. UU HPP merupakan salah satu produk reformasi perpajakan, di mana reformasi perpajakan merupakan suatu proses yang berjalan secara simultan, mulai dari tahun 1983, 1990, 2000 dan terus bergulir hingga saat ini.

Pada dasarnya ada beberapa alasan mengenai adanya urgensi reformasi perpajakan. Hal ini diungkapkan langsung oleh Heri Kuswanto selaku Kasubdirektorat Peraturan Pph Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui sebuah webinar, Jumat (3/12).

“Adanya UU HPP ini bertujuan untuk membuat basis pajak yang kuat dan makin merata berdasarkan APBN yang sehat serta berkelanjutan, sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,” ungkapnya.

Heri melanjutkan pajak merupakan tulang punggung APBN, adanya reformasi ini diharapkan bisa menopang kebutuhan pembangunan yang baik, sehingga menjadikan pajak yang adil, sehat, efektif dan akuntabel. (Baca: Pemerintah Akan Terbitkan 43 Aturan Turunan UU HPP)

Reformasi perpajakan ini pada dasarnya memiliki dua segmen, yaitu reformasi di bidang kebijakan dan reformasi di bidang administrasi. Reformasi kebijakan merupakan perbaikan-perbaikan reformasi yang dituangkan di UU HPP dengan tujuan utama memperluas basis pajak, sehingga menjawab tantangan daya saing dengan negara lain.

Sedangkan di bidang administrasi perpajakan terus disempurnakan sehingga menghasilkan kemudahan dan efektifitas bagi wajib pajak.

Ada beberapa materi dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) yang dirumuskan ulang dalam UU HPP yang dimaksudkan dan disesuaikan dengan tujuan reformasi perpajakan sehingga tercipta pajak yang adil, sehat, efektif dan akuntabel. Salah satu materi perubahan yang paling utama adalah pengaturan mengenai natura dan kenikmatan bagi pegawai.

Selain perubahan materi natura, ada beberapa perubahan materi yang mengalami perubahan dalam UU HPP. Diantaranya yaitu, materi pajak penghasilan, tarif PPh orang pribadi dan tarif PPh badan.

Terlepas dari banyaknya perubahan materi di dalam UU HPP, pemerintah turut menambahkan program pengungkapan sukarela wajib pajak ke dalam ketentuan yang diatur dalam UU HPP.

Program ini diatur dalam bab tersendiri yaitu pada BAB V UU HPP. Adanya program ini untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak yang diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum serta kemanfaatan.

Adanya program pengungkapan sukarela ini cukup membingungkan masyarakat, sehingga diartikan sama dengan tax amnesty. Dirjen Jenderal Pajak menjelaskan kedua hal ini cukup berbeda apalagi dalam sisi tarif.

Masih adanya peserta pengampunan pajak yang belum mendeklarasikan seluruh aset pada Program pengungkapan sukarela ini memberikan kesempatan wajib pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran pajak penghasilan, yang berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak.

Lalu program sukarela ini memungkinkan pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan pajak penghasilan orang pribadi. Namun, program ini masih terus dalam proses penyusunan karena ada beberapa hal terkait dengan deklarasi wajib pajak.

Kepastian proses program pengungkapan sukarela ini diupayakan tidak lebih rumit daripada proses sebelumnya yang dapat memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Program pengungkapan sukarela ini direncanakan akan dilaksanakan selama 6 bulan, yaitu dari 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2022.

Sementara itu, Senior Partner DDTC Konsultan Pajak, Darussalam, mengungkapkan terkait dengan tantangan dalam pelaksanaan UU HPP. “Tantangan dalam UU HPP ini terdapat dalam aturan teknisnya. UU HPP memiliki 43 ketentuan teknis, yang terdiri dari 8 Peraturan Pemerintahan dan 35 Peraturan Kementerian Keuangan. Partisipasi publik sebagai bahan masukan juga menjadi pertimbangan sehingga dapat menyelesaikan tantangan ini,” katanya.

Darussalam melanjutkan UU HPP terjadi di perubahan lanskap perpajakan domestik maupun dunia, sehingga adanya potensi dan risiko sengketa akan sangat tinggi. Selain itu UU HPP lahir di suasana pandemi yang masih berlangsung. Ekonomi yang belum pulih menjadi target penerimaan pajak akan menjadi penentu keberhasilan UU HPP, karena jika sektor ekonomi bagus maka pajak juga akan bagus tutupnya.

Tags:

Berita Terkait