Mengenal Konsep Rechterlijke Pardon pada RKUHP

Mengenal Konsep Rechterlijke Pardon pada RKUHP

Berkaca dari Kasus Pembunuhan Anna Pasquio di Perancis. Dalam hal pengadilan tidak menjatuhkan suatu sanksi kepada terdakwa, maka putusannya adalah bersalah tanpa pidana (a guilty verdict without punishment).
Mengenal Konsep Rechterlijke Pardon pada RKUHP

Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) 1987-1992, mendiang Profesor Mardjono Reksodiputro pernah mengungkap sebuah cerita mengenai pembahasan RUU KUHP. Hari itu, kenang Mardjono, pembahasan RUU KUHP dilaksanakan di kantor Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Sejumlah tokoh hukum hadir dalam momen yang terjadi puluhan tahun silam tersebut. Ada Dirjen Perundang-Undangan Kementerian Kehakiman Bagir Manan, pakar hukum pidana/kriminologi Profesor J.E Sahetapy, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang Satjipto Rahardjo yang duduk di sebelah kanan Mardjono, serta Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Bismar Siregar.

Seingat Mardjono, banyak hal yang dibahas dalam kesempatan tersebut. Salah satu yang pasti ikut dibahas adalah mengenai konsep rechterlijke pardon. Konsep pemaafan dari hakim yang juga dikenal dalam KUHP Belanda. Lewat revisi Wetboek van Strafrecht (WvS) melalui Undang-Undang 31-3-1983 di negeri Belanda, dimasukkanlah ketentuan Pasal 9a yang berbunyi, “Indien de rechter dit raadzaam acht in verband met de geringe ernst van het feit, de persoonlijkheid van de dader of de omstandigheden waaronder het feit is begaan, dan wel die zich nadien hebben voorgedaan, kan hij in het vonnis bepalen dat geen straf of maatregel zal worden opgelegd”.

Andi Hamzah dalam Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia (2010:170-171) menerjemahkan bunyi Pasal 9a menjadi, "Jika hakim menganggap patut berhubungan dengan kecilnya arti perbuatan, kepribadian pelaku atau keadaan-keadaan pada waktu perbuatan dilakukan, begitu pula sesudah itu ia menunjukkan keteladanan, ia (hakim) dapat menentukan di dalam putusan bahwa tidak ada pidana atau tindakan yang dijatuhkan". Secara singkat tentang konsep ini, Mardjono menjelaskan, bahwa hakim diberi wewenang memberi maaf apabila hakim merasa terdakwa sudah tobat dan mengakui kesalahan.

Menurut Mardjono, ide rechterlijke pardon atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pemaafan hakim ini datang dari Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Profesor Roeslan Saleh. Setelah melalui beberapa tahapan, konsep rechterlijke pardon kini masuk dalam Bab III Paragraf 2 tentang Pedoman Pemidanaan pada RUU KUHP.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional