Menggugat Autentikasi Surat KMA Nomor 73 Tahun 2015
Kolom

Menggugat Autentikasi Surat KMA Nomor 73 Tahun 2015

Surat KMA Nomor 73 harus batal demi hukum (van rechtwageneting) ketika diajukan melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

Bacaan 9 Menit

Oleh karenanya, jika dibaca dalam batas penalaran hukum yang wajar maka Surat KMA Nomor 73 ini tidak memenuhi kualifikasi peraturan kebijakan berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Lebih dari itu, jika dilihat dari kebiasaan kebijakan administrasi di lingkungan MA, berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung (KMA) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk perbuatan atau tindakan administrasi di lingkungan Mahkamah Agung secara limitatif hanya terdiri dari: Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Surat Keputusan.


Maka ketika mencermati Keputusan Mahkamah Agung (KMA) Nomor 57 Tahun 2016 tersebut, tidak disebutkan jenis Surat Ketua MA sebagai bagian dari bentuk pedoman penyusunan kebijakan di lingkungan MA. Oleh karenanya, Surat KMA Nomor 73 ini telah menyimpangi secara nyata terhadap peraturan kebijakan internal MA, yaitu Keputusan Mahkamah Agung (KMA) Nomor 57 Tahun 2016.

Lalu bagaimana kategorisasi atau nomenklatur Surat KMA Nomor 73 tersebut? Berdasarkan kajian teoritis, dalam perkembangan hukum administrasi diperkenalkan konsep tentang perbuatan pemerintah tidak hanya dalam pengertian eksekutif, namun juga legislatif dan yudikatif sepanjang perbuatan administrasi itu dilakukan sebagai bagian dalam pelaksanaan teknis pelayanan publik (public services).

Maka setiap lembaga/badan yang terkualifikasikan sebagai pelayanan publik itu dapat diberikan kewenangan mengambil kebijakan yang tidak secara eksplisit diatur dalam norma peraturan perundang-undangan yang rigid. Namun atas dasar kewenangannya untuk melakukan perbuatan pelayanan publik dengan cepat sementara tidak terdapat norma peraturan perundang-undangan, maka badan/lembaga bebas melakukan tindakan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance) sepanjang dilakukan secara terbuka, efektif, dan efisien.

Asas kebebasan melakukan perbuatan bagi jalannya pemerintah untuk pelayanan publik ini dikenal dengan diskresi (discretion) yang biasanya ditujukan untuk: 1). mengatasi keadaan darurat (emergency) terkait dengan hajat hidup orang banyak yang menuntut segera diputuskan dalam kebijakan pemerintahan; 2). agar badan/lembaga pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum di mana dalam penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya terpaku pada pengaturan norma perundangan, sehingga tidak berani bertindak jika tak terdapat mandat norma perundang-undangan; 3). agar badan/lembaga pemerintahan dalam pelayanan publik bersifat fleksibel dan bertindak sesuai dengan tujuan bernegara dan kesejahteraan.

Membaca Surat Ketua MA ini dalam batas-batas tertentu adalah bagian dari pelaksanaan pelayanan publik yang bersifat diskresi karena dalam Surat tersebut juga dinyatakan beberapa alasan sosiologis kenapa diperlukan MA bertindak cepat yang ditujukan kepada para Ketua PT agar melayani penyumpahan advokat yang diusulkan oleh organisasi advokat selain PERADI karena banyaknya permintaan dan kekurangan advokat sementara publik butuh jasa layanan advokat.

Namun demikian dalam penggunaan diskresi ini badan hukum seharusnya mematuhi beberapa batasan dari diskresi selain asas pemerintahan yang baik (AAUPB) atau good governance adalah asas the principle of prohibition of misuse of power/ the principle of prohibition detourment de pouvoir (larangan menyalahgunakan kekuasaan/kewenangan). Berdasarkan telaah rumusan preskripsi yang negatif maka dianggap sebagai tindakan menyalahgunakan kekuasaan diskresi jika tindakan pemerintah tidak sesuai atau bertentangan dengan tujuan dari kekuasaan tersebut.

Tags:

Berita Terkait