Mengulas Perbedaan Wanprestasi dan Penipuan
Berita

Mengulas Perbedaan Wanprestasi dan Penipuan

Jika ada kontrak yang sudah dibuat dengan itikad baik, maka pelanggaran Pasal 1321 sampai 1328 KUHPerdata harus diselesaikan secara gugatan perdata, bukan pidana. Tapi, penipuan dalam perjanjian hanya diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata.

Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit

Hukumonline.com

Wakil Ketua Indonesia Corporate Counsel Association (ICCA), Erlangga Gaffar. 

Sudah diatur KUPerdata

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yoni Agus Setyono mengatakan yurisprudensi dalam kasus seperti ini seharusnya menjadi panduan mengikat dalam perkara serupa. “Hakim harus mengikutinya demi kepastian hukum. Artinya, putusannya bukan bebas dari jerat hukum, tapi lepas dari tuntutan hukum pidana (ontslag van alle rechtvervoolging) untuk diselesaikan dengan gugatan perdata,” ujar Yoni dalam kesempatan yang sama.

Ia mengingatkan pengaturan soal sengketa dalam kontrak perdata sudah diatur dalam Pasal 1321 sampai 1328 KUHPerdata. Sedangkan, penipuan dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata. “Jika ada kontrak yang sudah dibuat dengan itikad baik, maka pelanggaran terkait Pasal 1321 sampai 1328 KUHPerdata harus diselesaikan secara perdata, bukan pidana,” kata Yoni menegaskan.

Perlu diingat, kontrak adalah konsep perjanjian yang diatur KUHPerdata terutama dalam Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUHPerdata. Praktik yang terjadi ternyata kerap menimbulkan masalah hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi perjanjian dikatakan wanprestasi atau justru sudah melakukan tindak pidana penipuan. Karena itu, pendapat Mahkamah Agung yang dituangkan menjadi yurisprudensi menjadi sangat penting meski kedudukan yurisprudensi dalam sistem hukum Indonesia tidak mutlak (harus diterapkan).  

“Sejauh ini yurisprudensi di Indonesia menjadi instrumen hukum pelengkap yang dibentuk pengadilan untuk mengisi kekosongan hukum dan menjaga kepastian hukum.”

Hukumonline.com

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yoni Agus Setyono. 

Untuk diketahui, dalam sebuah yurisprudensi putusan MA No. 4/Yur/Pid/2018, Majelis MA menyatakan pengadilan telah konsisten menegaskan batas wanprestasi sebagai urusan perdata atas kontrak dengan penipuan sebagai masalah pidana. Seseorang yang tidak memenuhi kewajiban dalam kontrak dinyatakan lepas dari tuntutan pidana penipuan dengan dua syarat. Pertama, kontrak dibuat secara sah. Kedua, kontrak dibuat tanpa ada itikad buruk.

Dalam yurisprudensinya, MA mengutip Putusan No. 1601 K/Pid/1990 sebagai salah rujukan paling awal untuk perkara serupa sebelum yurisprudensi ini terbentuk. Putusan pidana di tingkat kasasi itu menyatakan “apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul adalah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata”. Tapi, tidak ada uraian soal syarat adanya itikad buruk untuk bisa menjerat dengan sanksi pidana (penipuan).

Selain itu, Putusan MA Nomor 1689 K/Pid/2015 sebagai sumber pembentuk yurisprudensi nomor katalog 4/Yur/Pid/2018 ini. Tercatat ada lebih dari sepuluh putusan yang diakui MA telah mengikuti sumber hukum yurisprudensi tersebut sebagai salah satu yurisprudensi tetap MA.

Tags:

Berita Terkait