Mengurai Relevansi Insolvency Test di Indonesia
Terbaru

Mengurai Relevansi Insolvency Test di Indonesia

Jimmy berharap, hasil dari seminar ini dapat menjadi masukan yang konstruktif, baik kepada pelaku usaha, industri perbankan, maupun pemerintah, yang saat ini sedang berkonsentrasi untuk membahas atas perubahan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 4 Menit

 

Financial distress tidak identik dengan likuidasi atau bankruptcy. Sebab, perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dapat mengambil langkah seperti restrukturisasi aset (merger, menjual sebagian aset, mengurangi spending, atau PHK); atau financial restructuring (negosiasi dengan bank atau kreditur lain), sebelum mengajukan permohonan pailit secara legal.

 

“Di mata bursa, emiten dengan ekuitas negatif tidak berarti insolven, karena ini baru segi book value (akuntansi) saja. Ada market value yang harus jadi acuan, jika perusahaan ini masih bisa beroperasi dan menghasilkan revenue.  Kemudian, perusahaan tersebut biasanya akan melakukan restrukturisasi aset dan atau kapital. Hingga hari ini, tidak ada permohonan atau pernyataan pailit dari emiten yang memiliki ekuitas negatif di BEI. Separuh dari saham dengan ekuitas negatif masih aktif diperdagangkan, bahkan menjadi top gainers,” Budi melanjutkan.

 

Insolvency Test Tidak Dapat Diterapkan

Dalam paparannya, Ricardo Simanjuntak menggarisbawahi sejumlah alasan insolvency test tidak dapat diaplikasikan pada sengketa PKPU di Indonesia. Menurutnya, proses pembuktian apakah debitur benar-benar tidak mampu menjalankan kewajibannya sangat sulit dilakukan.

 

“Sulit dan hampir tidak mungkin bagi kreditur untuk mendapatkan laporan keuangan dan neraca debitur sebagai bukti dalam permohonan pernyataan pailit, khususnya pada PT tertutup. Sekalipun ada, tidak ada jaminan laporan tersebut akan tersedia di masa depan, sebab kita sedang bicara tentang akurasi peristiwa,” ungkap Ricardo.

 

Di sisi lain, ketika masuk pada Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, pemohon pernyataan pailit tidak saja akan kesulitan untuk membuktikan, tetapi juga sulit untuk membangun dalil. Pasalnya, untuk ‘mendalilkan’ debitur insolven dan masuk pada insolvency test, ia juga harus mempelajari laporan keuangannya. Apalagi, berdasarkan penjelasan Budi sebelumnya, 40 emiten dalam BEI yang memiliki ekuitas negatif masih bertransaksi, bahkan masih dapat menciptakan gain bagi pembeli sahamnya. 

 

Selanjutnya, harus dipahami pula dari valuasinya (nilai aset) debitur: book value atau market price; fair place atau liquidated price; serta berdasarkan nilai aset satuan atau adanya penjualan retail. Terakhir, penekanan pada frasa ‘berhenti membayar’ yang kerap kali jadi persoalan, sebab ketika debitur tidak mampu membayar utang sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah disepakati; tetapi tetap membayar krediturnya (walau bukan pada jumlah yang disepakati)—akan menimbulkan perdebatan yang mengurangi kekurangan pembuktian yang dimaksudkan Pasal 8 Ayat (4) UU Kepailitan & PKPU.

 

“Seluruh poin tersebut akan membangun potensi baru bahwa perdebatan di pengadilan niaga bukan lagi ‘kenapa Anda tidak bayar’, tetapi lebih pada perdebatan para ahli akuntan untuk mengatakan dirinya insolven atau tidak. Sehingga, proses untuk memastikan orang harus membayar utang akan semakin jauh,” kata Ricardo.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait