Meninjau Polemik Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual
Utama

Meninjau Polemik Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual

Sebuah kebijakan tidak terlepas dari pro dan kontra. Menjadi bukti bahwa masyarakat memiliki pandangan yang kritis terhadap suatu kebijakan baru.

Oleh:
CR-27
Bacaan 4 Menit

“Saat ini, hampir 80% kasus kekerasan seksual tidak lanjut karena bukti yang kurang. Hal ini yang banyak dialami oleh masyarakat disabilitas yang tidak difasilitasi dengan benar. Sehingga kesetaraan ini lagi-lagi menjadi penting,” lanjut Fajri.

Pembentukan norma hukum tidak serta merta membatalkan norma susila dan norma agama yang telah ada. Meski dalam Permendikbud tidak dituliskan secara langsung, bukan berarti itu menghapuskan norma agama dan norma susila yang telah ada di tengah masyarakat.

Terkait Pasal 5 ayat (3) yang secara tidak langsung melegalisasikan seks bebas, Fajri menjelaskan bahwa konteks Permendikbud adalah kekerasan seksual bukan memaknai aktivitas seksual secara umum.

“Pasal 5 dibentuk untuk membantu permendikbud mendefinisikan apa itu kekerasan seksual, oleh karena itu perbuatannya harus dirincikan. Adanya pemicu legalisasi seks bebas. Untuk masuk konteks kekerasan, harus ada pihak yang tidak berkenan yang menandakan situasi seseorang tidak dihargai terhadap memutuskan apa yang diinginkan dirinya, hal inilah yang harus dilindungi negara agar posisinya yang tidak setara menjadi setara,” katanya.

Fajri juga menambahkan jika terjadi persetujuan, maka itu bukan lagi yang dibicarakan oleh Permendikbud karena aturan ini tidak menghilangkan norma agama dan norma susila. Permendikbud 30/2021 hadir untuk menaikkan posisi korban, sehingga perguruan tinggi yang mempunyai tugas sebagai pencegah mempunyai kekuasaan hukum yang kuat. 

‘Hadirnya permendikbud ini turut membuat lembaga pendidikan perguruan tinggi menjadi bebas bebas dari kekerasan seksual,” tandasnya. 

Tags:

Berita Terkait