Sejarah Organisasi Advokat Indonesia, Memang Penuh ‘Drama’?
Terbaru

Sejarah Organisasi Advokat Indonesia, Memang Penuh ‘Drama’?

Sejarah organisasi advokat di Indonesia dipenuhi banyak ‘drama’ hingga hari ini. 8 organisasi advokat yang sempat bersatu dalam wadah tunggal, satu per satu kini kembaIi eksis.

Tim Hukumonline
Bacaan 6 Menit
Pertemuan Menkopolhukam, Menkumham dengan pimpinan organisasi advokat Peradi pada Februari 2020 silam. Foto: Istimewa
Pertemuan Menkopolhukam, Menkumham dengan pimpinan organisasi advokat Peradi pada Februari 2020 silam. Foto: Istimewa

Organisasi advokat memberi warna tersendiri terhadap sejarah perkembangan dunia hukum di tanah air. Keberadaannya sudah ada bahkan sejak zaman kolonial. Akan tetapi, dalam praktik dan perjalanannya, organisasi ini dipenuhi drama, polemik, dan kerap berujung pada perpecahan. Berikut uraian sejarah, wewenang, dan eksistensi masing-masing organisasi saat ini.

Sejarah Organisasi Advokat Indonesia

Kehadiran organisasi advokat pertama di Indonesia muncul sejak masa kolonialisme. Pada masa itu, jumlah advokat masih terbatas dan hanya ditemukan di kota yang memiliki landraad (pengadilan negeri) dan raad van justitie (dewan pengadilan). Para advokat tersebut tergabung dalam organisasi yang bernama Balie van Advocaten. (Dasar-dasar Profesi Advokat; V. Harlen Sinaga)

Setelah kemerdekaan, Seminar Hukum Nasional Advokat Indonesia yang digelar pada 4 Maret 1963 di Jakarta melahirkan organisasi bernama Persatuan Advokat Indonesia (PAI).

Pada 30 Agustus 1964, dalam Kongres Advokat di Solo, PAI digantikan dengan Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Setelah Peradin terbentuk, muncul wadah lainnya di Jakarta. Beberapa di antaranya, Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum (PUSBADHI), Forum Studi dan Komunikasi Advokat (Fosko Advokat), Himpunan Penasihat Hukum Indonesia (HPHI), Bina Bantuan Hukum (BHH), PERNAJA, dan LBH Kosgoro.

Di masa Orde Baru, kehadiran Peradin dinilai mengancam jalannya pemerintahan dan penegakan hukum di Indonesia. Oleh karenanya, pada 1980-an, pemerintah mulai melakukan upaya dan strategi meleburkan Peradin ke wadah tunggal yang bisa dikontrol pemerintah. Kemudian, pada 1981, tepatnya dalam Kongres Peradin di Bandung, Ketua Mahkamah Agung Mudjono, Menteri Kehakiman Ali Said, dan Jaksa Agung Ismail Saleh sepakat mengusulkan perlu adanya satu wadah tunggal untuk para advokat.

Perdebatan di dalam Peradin sudah muncul sebelum ada upaya pemerintah untuk mengontrol gerak advokat. Wakil Ketua DPN Peradi Bidang PKPA, Sertifikasi Advokat dan Kerja Sama Perguruan Tinggi, Shalih Mangara Sitompul menerangkan bahwa sejak 1977 ada perdebatan akibat perbedaan yang tajam antara anggota Peradin. Perdebatan tersebut membuat beberapa anggota keluar dan mendirikan Himpunan Penasehat Hukum Indonesia (HPHI).

Sejak itu, Peradin seolah ditelan bumi meski organisasi ini tidak bubar pun dibubarkan. Pada periode 1977-1985, tidak ada organisasi yang tergolong aktif di Indonesia. Di era ini pula, ada kebijakan bahwa advokat diangkat oleh Menteri Kehakiman dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK). Pada intinya, Menteri Kehakiman berwenang memecat advokat.

Kebijakan ini menuai banyak perdebatan dan perhatian di tengah para advokat. Pasalnya, muncul pertanyaan bagaimana jika advokat dihadapkan dengan pemerintah dalam penegakan keadilan. Sekitar 1985, muncul organisasi baru bernama Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang didirikan oleh Ali Said dan Ismael Saleh. Beberapa tokoh Peradin masuk ke Ikadin dan menggelar musyawarah nasional perdana pada 1990.

Lima tahun berselang, pada 1995 musyawarah nasional kedua diadakan. Pada acara kedua ini, muncul perdebatan dalam organisasi yang berujung pada perpecahan. Sebagian anggota Ikadin keluar dan membentuk organisasi bernama Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).

Keberadaan pengacara praktik menjadi fragmen sejarah tersendiri. Di masa Orde Baru para advokat tidak diwajibkan untuk terlibat dalam organisasi. Di masa ini, para advokat perlu menjadi pengacara praktik terlebih dahulu selama empat tahun. Wilayah kerja pengacara praktik ini sangat terbatas, hanya di wilayah pengadilan tinggi di mana pengacara tersebut diambil sumpahnya. Pengacara praktik yang dinyatakan lulus ujian mendapatkan tanda pengenal pengacara praktik dari SK dari Pengadilan Tinggi.

Pengacara praktik yang belum menjadi advokat belum boleh menjadi anggota Peradin atau AAI. Oleh karenanya, para pengacara praktik tersebut membentuk organisasi baru bernama Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI). Akhirnya di masa Orde Baru ini, total ada tujuh organisasi yang berdiri, yakni Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI).

Di era Reformasi, tepatnya pada 8 Februari 2003, muncul organisasi baru bernama Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) yang dideklarasikan di Universitas Islam Negeri Semarang. Beberapa bulan berselang, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) disahkan. Pasal 28 ayat (1) UU Advokat mengatur bahwa organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.

Dalam Pasal 32 ayat (3) UU Advokat menjelaskan bahwa hingga organisasi yang dimaksud UU Advokat terbentuk, tugas dan wewenangnya dijalankan bersama oleh IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI. Pasal 32 ayat (4) UU Advokat mengatakan bahwa organisasi itu sendiri harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun.

Di tahun yang sama, tepatnya 6 Juni 2003, kedelapan organisasi sepakat untuk membentuk sebuah komite kerja bernama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). Komisi ini bekerja sama untuk menghasilkan satu organisasi yang baru sebagaimana ketentuan dari UU Advokat. Pada 21 Desember 2004, KKAI sepakat untuk membentuk Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Kemudian pada 7 April 2005, Peradi mulai diperkenalkan ke masyarakat, khususnya para advokat tanah air.

Dalam perjalanannya, Peradi mengalami perpecahan pengurus menjadi tiga kubu. Perpecahan ini terjadi sejak 2015 lalu, setelah diselenggarakannya Musyawarah Nasional II di Makassar. Sejumlah upaya telah dilakukan dalam rangka menyatukan kembali kepengurusan Peradi yang pecah. Pada 25 Februari 2020, ketiga kubu tersebut sempat bersepakat untuk “bersatu” dengan menandatangani kesepakatan bersatu yang dijembatani oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Moh.Mahfud MD dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H.Laoly. Namun hingga saat ini, kesepakatan tersebut belum juga terwujud. (Baca juga: Peradi Otto Ajak Munas Bersama, Begini Respons Juniver-Luhut)

Wewenang Organisasi Advokat

Pengaturan terkait wewenang organisasi advokat tersebar dalam UU Advokat dan anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang krusial adalah penyelenggaraan pendidikan calon advokat. Pasal 2 ayat (1) UU Advokat menerangkan bahwa calon advokat wajib memiliki gelar sarjana hukum dan telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi. Putusan MK Nomor 95/PUU-XIV/2016 menerangkan bahwa yang berhak menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat adalah organisasi dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi yang fakultas hukumnya minimal terakreditasi B atau sekolah tinggi hukum yang minimal terakreditasi B.

Pasal 3 ayat (1c) UU Advokat menerangkan bahwa salah satu syarat yang wajib dipenuhi untuk menjadi advokat adalah lulus ujian. Pasal 4 ayat (3) kemudian menekankan peran penting organisasi dalam perjalanan karier seorang advokat; berita acara sumpah akan dikirimkan Panitera Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan organisasi advokat. Organisasi advokat juga berhak memberikan penindakan berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 UU Advokat.

Pasal 12 UU Advokat juga menerangkan bahwa organisasi advokat bertugas melakukan pengawasan pada advokat dalam menjalankan profesinya. Pengawasan yang dimaksud bertujuan agar advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Meski tunduk dalam sejumlah peraturan dan kode etik, advokat diberikan hak imunitas advokat dalam melaksanakan tugasnya. Berdasarkan Putusan MK Nomor 26/PUU-XI-2013, hak imunitas advokat yang dimaksud adalah advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.

Organisasi Advokat yang Eksis Saat Ini

Pada 21 Desember 2004, KKAI yang mana merupakan gabungan dari 8 organisasi advokat sepakat membentuk Peradi. Lantas, saat Peradi berdiri, bagaimana dengan organisasi yang lain? Kedelapan organisasi yang telah ada sebelum Peradi berdiri, yakni Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) masih eksis hingga saat ini.

Akan tetapi, terdapat Putusan MK Nomor 35/PUU-XVII/2018 yang menerangkan wewenang organisasi advokat sebagai berikut.
a. melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1)];
b. melaksanakan pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f];
c. melaksanakan pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2)];
d. membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)];
e. membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1)];
f. membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1)];
g. melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)]; dan
h. memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1)].

Namun demikian, melalui Putusan MK Nomor 35/PUU-XVII/2018, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa 8 organisasi advokat selain Peradi masih eksis hingga saat ini. Kehadiran organisasi tersebut tidak dapat dilarang. Pasalnya, konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana termuat dalam Pasal 28E UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait