Pajak Ekonomi Digital di Mata Pengamat
Berita

Pajak Ekonomi Digital di Mata Pengamat

Kemenkeu menyiapkan strategi untuk memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor e-commerce.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit

Kedua, perlunya pengaturan dan pengawasan yang harus dilakukan terhadap pemungutan PPN oleh WP Badan/WPOP yang sudah memiliki omset di atas Rp4.8 miliar, karena besarnya potensi PPN dari ecommerce domestik. Sedangkan, pemungutan PPN atas barang impor (e-commerce asing) sebagian telah dapat dipungut saat impor.

Ketiga, salah satu sumber potensi penerimaan pajak adalah sektor over the top service (OTT). Yustinus mengatakan, pengalaman beberapa negara dan kompleksitas kebijakan seyogianya mendorong Pemerintah mengambil langkah ‘jalan tengah’ yang efektif. Hingga kini, penerapan Pajak Penghasilan atau introduksi jenis pajak baru untuk OTT terus menjadi terus menjadi polemik. Penyebabnya hak pemajakan lintas negara (Pajak Penghasilan/PPh) masih berpatokan pada keberadaan fisik. Padahal, lanjutnya, kini praktik bisnis tak lagi mensyaratkan demikian.

“Akibatnya, seringkali negara pasar sumber penghasilan merasa dirugikan. Namun memaksakan pengenaan pajak pada saat kita belum punya acuan normatif yang kokoh juga rawan mengundang sengketa berkepanjangan, dan pada gilirannya tidak menguntungkan kebutuhan akan iklim investasi yang baik,” imbuhnya.

Keempat, Yustinus menyampaikan bahwa Task Force on Digital Economy (TFDE) berupaya mengatasi persoalan ini dengan menciptakan konsensus global pemajakan ekonomi digital pada 2020. Alih-alih tuntas, interim report TFDE pada Maret 2018 lalu justru menunjukkan adanya kendala yaitu ketidaksepakatan global lantaran banyak negara berbeda pendapat dan sebagian memilih upaya unilateral, seperti Equalization Levy di India, Google Tax di Inggris, dan The Multinational Anti-Avoidance Law (MAAL) di Australia.

Meski upaya unilateral dapat dilakukan selayaknya negara-negara tersebut, namun sebaiknya pemerintah Indonesia tidak gegabah dalam menentukan arah kebijakan. Sebab, risikonya adalah double taxation, timbulnya kompleksitas baru, kenaikan cost of compliance, dan kontraproduktif terhadap upaya menciptakan iklim investasi. Selain itu, upaya ini akan memakan waktu panjang karena harus mengubah Undang-Undang, dan renegosiasi Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Kelima, terdapat satu pendekatan ‘jalan tengah’ yang bijak untuk menjaring penerimaan tanpa harus mengubah sistem yang ada, yakni pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi jasa digital cross border secara lebih optimal. “PPN menganut prinsip destination principle, yaitu pajak dikenakan pada tempat barang/jasa itu dikonsumsi ataunegara sumber penghasilan. Langkah ini cukup feasible dan efektif karena dapat dilakukan tanpa menunggu konsensi dan mengubah P3B yang ada.,” jelas Yustinus.

Selain itu, ia mengingatkan pengenaan PPN atas jasa digital ini direkomendasikan OECD dan telah dipraktikkan oleh beberapa negara. Mekanisme yang diterapkan antara lain supplier collection, yakni menyerahkan tugas pemungutan PPN pada supplier asing. Mekanisme ini dinilai Yustinus cukup populer. Buktinya, sebanyak 29 dari 35 negara OECD (bersama Uni Eropa, Rusia, India, Afrika Selatan, dll) telah mengadopsinya.

Tags:

Berita Terkait