Penerapan Darurat Sipil Reduksi Pelaksanaan Otonomi Khusus Aceh
Berita

Penerapan Darurat Sipil Reduksi Pelaksanaan Otonomi Khusus Aceh

Sejak disahkan pada Agustus 2001, Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh belum dapat dijalankan sepenuhnya. Pranata otonomi khusus banyak yang tereduksi gara-gara pemberlakuan darurat sipil, termasuk pranata hukum.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Penerapan Darurat Sipil Reduksi Pelaksanaan Otonomi Khusus Aceh
Hukumonline

 

Revisi UU Otsus

Rekomendasi lain AWG adalah revisi terhadap Undang-Undang No. 18 Tahun 2001. Sebagai bagian dari solusi konflik, Undang-Undang itu mestinya memuat aturan tentang mekanisme penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia dan keadilan hukum. Aturan semacam ini sudah disinggung dalam Undang-Undang Otsus Papua.

 

Mekanisme penyelesaian tersebut dirasakan penting demi menciptakan rasa keadilan bagi korban kekerasan selama berlangsungnya status darurat, baik darurat militer maupun darurat sipil.

 

Disamping itu, Undang-Undang Otsus Aceh semestinya mengakomodir mekanisme politik lokal sebagai tempat menyalurkan aspirasi masyarakat. Sebagaimana halnya Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dikenal dalam Undang-Undang Otsus di Papua. Dengan cara begitu, masyarakat bisa menyalurkan kepentingan politik mereka secara demokratis, ujar M Choirul Anam, salah satu pengurus AWG.

Otonomi khusus yang ditawarkan melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 sebenarnya merupakan salah satu alternatif jalan damai dalam penyelesaian kemelut Aceh. Tetapi kondisi darurat dan perpanjangan terus status darurat dinilai Aceh Working Group (AWG) telah menggagalkan upaya damai melalui otonomi khusus (otsus) tersebut.

 

Dalam pernyataan persnya di Jakarta (2/12), AWG menegaskan bahwa pelaksanaan otsus selalu direduksi oleh kondisi darurat yang terus dijalankan di Aceh. Akibatnya, lembaga hukum yang sudah ada maupun yang diperkenalkan lewat Undang-Undang Otsus tidak berjalan sebagaimana mestinya.

 

Rafendi Djamin berpendapat lembaga-lembaga hukum seperti pengadilan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pelanggaran pidana yang dilakukan aparat keamanan selalu direduksi menjadi hanya sekedar tindakan indisipliner. Sebaliknya, pengadilan menjadi ‘neraka' bagi setiap warga Aceh yang dicap anggota GAM. Oleh karena itu, para aktivis berencana melakukan pemantauan terhadap kinerja pengadilan di bawah status darurat sipil. Kami akan melakukan judicial monitoring, ujar Koordinator Human Rights Working Group (HRWG) itu.

 

Sehubungan dengan masalah ini, AWG merekomendasikan agar Pemerintah segera menyelenggarakan hukum dan keadilan secara fair dan independen. Penyelenggaraan hukum yang fair dan independen itu menjadi jawaban penting untuk mengembalikan kebenaran dan martabat masyarakat Aceh pada umumnya dan para korban pada khususnya.

 

Pranata hukum seperti Mahkamah Syariah yang diperkenalkan sejak Undang-Undang No. 18/2001 juga dinilai belum bisa diterapkan sepenuhnya. Sosiolog asal Aceh Otto Syamsuddin Ishak mengatakan penerapan syariah di Aceh lebih banyak diarahkan untuk menjerat hal-hal yang tidak substansial seperti pacaran dan pengenaan jilbab. Sementara prilaku koruptif baik yang dilakukan pejabat sipil maupun militer justeru tidak banyak tersentuh. Padahal dengan banyaknya kucuran dana yang masuk Aceh, kemungkinan korupsi juga akan lebih besar. Otto menyatakan bahwa kiprah aparat penegak hukum untuk memberantas korupsi di Aceh tidak banyak berubah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: