Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Kebijakan
Terbaru

Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Kebijakan

Sayangnya peran partisipasi masyarakat dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hanya diatur dalam satu pasal. Alih-alih pelibatan partisipasi masyarakat, praktiknya hanya sebatas menjustifikasi proses pembuatan kebijakan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Betapa pembahasan kedua RUU tersebut jauh dari asas keterbukaan dan pastipasi masyarakat. Pembahasan kedua RUU kerap cenderung tertutup. Publik jauh dari hingar-bingar pembahasan kedua tersebut. Alih-alih melibatkan partispasi masyarakat, namun seolah hanya sebatas menjustifikasi atau formalitas semata. Padahal, masukan masyarakat tak diakomodir pembuat peraturan. Alhasil, kualitas kebijakan dalam bentuk peraturan jauh dari harapan. Malahan berujung di uji materil di Mahkamah Konstitusi.

Meski partisipasi masyarakat tak diatur gamblang dalam konstitusi, ada pasal yang sejatinya tersirat mengatur partisipasi masyarakat yakni Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Rumusan norma  Pasal 27 ayat (1) itu mengatur soal equality before the law.

Sementara Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Charles berpandangan istilah bela negara memang agak militeristik. Namun bila diterjemahkan lebih luas, partisipasi pun bagian dari bela negara. Tak hanya itu, Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Begitu pula Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.

Peneliti Senior Pusat Studi Konstitusi (Pusako) itu menilai dua pasal dengan empat ayat itu tak mengatur gamblang soal peran serta masyarakat dalam pembuatan UU, tapi bila ditarik lebih luas, peran serta masyarakat mengacu kedua pasal tersebut. “Tapi tidak jelas apakah ini kewajiban atau hak peran serta masyarakat dalam pembuatan UU. Tapi sepertinya, partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU tidak menjadi kewajiban, hanya hak publik. Padahal semestinya menjadi kewajiban bagi penyelenggara negara dalam membuat aturan,” kata dia.

Lebih lanjut Charles menerangkan pengaturan peran serta masyarakat dalam UU 12/2011 hanya diatur dalam satu pasal yakni Pasal 96 UU 12/2021. Sayangnya, dalam praktik dari kelima tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan tidak melibatkan masyarakat. Ironisnya, Pasal 188 Peraturan Presiden (Perpres) No.87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU 12/2011 hanya mereduksi peran serta partisipasi masyarakat sebagai konsultasi publik.

Pengaturan partisipasi publik ternyata juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No.11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan konsultasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Begitu pula dalam Peraturan DPR No.2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undangan.

Dalam kedua beleid itu terdapat tiga tahapan yang dimungkinkan adanya keterlibatan peran serta masyarakat. Pertama, membuka konsultasi publik dalam penyusunan naskah akademik. Kedua, konsultasi publik dalam tahap penyusunan RUU. Ketiga, konsultasi publik dalam tahap pembahasan. Dalam Permenkumham 11/2021 itu menggunakan istilah “konsultasi publik”. Akibatnya bergantung dari kebutuhan pembuat UU soal perlu atau tidaknya masukan publik.

Tags:

Berita Terkait