Disiplin ilmu hukum tidak dapat berdiri sendiri. Dalam implementasinya, ilmu hukum berhubungan erat dengan disiplin ilmu lain seperti linguistik yang memegang peranan penting dalam interpretasi peraturan perundang-undangan hingga bahasa sebagai alat bukti hukum. Pada irisan ilmu hukum dan linguistik membentuk sebuah cabang ilmu yang disebut linguistik forensik.
Peneliti Pusat Riset Bahasa Sastra dan Komunitas Badan Riset dan Inovassi Nasional (BRIN) Salimulloh Tegar mencontohkan pada kasus pencemaran nama baik dan penghinaan membutuhkan peran ahli linguistik untuk membuktikan terjadinya suatu tindak pidana tersebut.
Salimulloh menjelaskan penafsiran suatu kata dapat berbeda-beda tergantung latar belakang penutur. Seperti tingkat ekonomi, gender hingga wilayah asal. ”Lalu juga makian tidak melulu bernuansa negatif, tapi juga bisa untuk pujian atau positif. Variasi ini menarik ditinjau lebih lanjut,” ujar Salimulloh dalam sebuah diskusi bedah buku berjudul ”Hukum dalam Teroka Linguistik”, Jum'at (8/3/2024) pekan lalu.
Dia menuturkan pada tahun 2021 tercatat ada 74 putusan di Direktori Putusan Mahkamah Agung terkait pelanggaran Pasal 310 dan Pasal 315 KUHP di seluruh Indonesia. Dari lembar-lembar putusan tersebut, dapat ditemukan aneka ragam makian yang digunakan pelaku.
Baca Juga:
- Pahami Perbedaan Linguistik Hukum dan Linguistik Forensik - Bagian 2
- Mengenal Peran Linguistik dan Psikologi Forensik dalam Penegakan Hukum
Dari kasus-kasus tersebut suatu kata yang dikategorikan dalam bentuk makian antara lain bereferensi binatang, makhluk halus, benda-benda jorok dan kotor, alat vital manusia, aktivitas seksual dan profesi negatif. Dari 6 referensi, yang paling banyak muncul adalah makian dengan referensi bagian tubuh.
”Persentasenya pun hampir separuh dari keseluruhan makian. Variasi kata yang paling banyak muncul juga berasal dari referensi bagian tubuh,” imbuhnya.