Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah
Expert Review

Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah

Tidak adanya perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia tidak dapat membatalkan perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing/bahasa Inggris. UU Bahasa tidak mengatur akibat hukum apa pun.

Bacaan 9 Menit
Perjanjian Tidak Berbahasa Indonesia Tetap Sah
Hukumonline

Suatu perjanjian—menurut Pasal 1313 KUHPerdata—adalah perbuatan seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. Perjanjian ada yang dibuat dengan cuma-cuma. Ada juga perjanjian yang dibuat atas beban tertentu seperti dimaksud oleh Pasal 1314 KUH Perdata. Perjanjian dengan cuma-cuma berisi pemberian keuntungan kepada pihak lain oleh satu pihak tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Di sisi lain, isi perjanjian atas beban mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyatakan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Rumusan ayat 1 Pasal 1338 KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa orang boleh membuat perjanjian apa saja selama dibuat secara sah. Kata “semua perjanjian” mengandung asas kebebasan membuat perjanjian atau asas kebebasan berkontrak. Namun, hanya perjanjian yang dibuat secara sah saja yang mengikat para pihak pembuatnya seperti undang-undang.

Baca juga:

Syarat sah suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata ada empat. Keempat syarat itu harus dipenuhi agar suatu perjanjian sah dan mengikat para pihak pembuatnya.

Syarat pertama, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan, “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Selanjutnya Pasal 1322 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata mengatur tentang kekhilafan, paksaan, dan penipuan.

Syarat kedua, cakap untuk membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 KUHPerdata menentukan orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan tidak cakap membuat perjanjian. Syarat ketiga, suatu hal tertentu. Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata menyatakan, “Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya”. Pasal 1332 KUHPerdata juga menentukan bahwa, “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian”.

Syarat keempat, suatu sebab yang halal. Undang-undang tidak mengatur apa yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal. Namun, Pasal 1337 KUHPerdata mengatakan, “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. (Eene oorzaak is ongeoorloofd, wanneer dezelve bij de wet verboden is, of wanneer dezelve strijdig is met de goede zeden, of met de openbare orde).

Tags:

Berita Terkait