Polemik Penafsiran Ketentuan Pasal 225 UU No. 37 Tahun 2004
Kolom

Polemik Penafsiran Ketentuan Pasal 225 UU No. 37 Tahun 2004

PKPU seringkali bergeser dari tujuan awalnya yaitu melindungi kepentingan Debitor dan Kreditor,

Bacaan 2 Menit
Polemik Penafsiran Ketentuan Pasal 225 UU No. 37 Tahun 2004
Hukumonline

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) adalah suatu keadaan dimana Debitor diberikan kesempatan untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. PKPU diatur pada Bab III Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”).

PKPU dapat diajukan baik atas inisiatif Debitor atau Kreditor (Pasal 222 UU KPKPU). PKPU dapat diajukan dalam koridor permohonan ataupun atas tanggapan terhadap permohonan pernyataan pailit kepada Debitor (Pasal 229 ayat (4) UU KPKPU). Dalam bahasa Inggris, PKPU disebut dengan Suspension of Payment. Faillssementverordening menyebut istilah PKPU dengan Surseance van Betaling.

Menurut Fred BG Tumbuan (Hukum Kepailitan Memahami Undang-undang No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan, Sutan Remy Sjahdeini, 2010), PKPU tidak berdasarkan pada keadaan dimana Debitor tidak membayar utangnya atau insolven dan juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan (likuidasi budel pailit). PKPU tidak dimaksudkan untuk kepentingan Debitor saja, melainkan juga untuk kepentingan para kreditornya, khususnya kreditor konkuren. Selanjutnya menurut Kartini Muljadi dasar pemikiran PKPU merupakan pemberian kesempatan kepada Debitor untuk melakukan restrukuturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada Kreditor Konkuren.

Dalam ketentuan Pasal 225 ayat (2) UU KPKPU bahwasanya dalam hal permohonan PKPU diajukan oleh Debitor, Pengadilan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) harus mengabulkan PKPU sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor.

Selanjutnya pada ayat (3) dalam pasal yang sama dinyatakan bahwa dalam hal permohonan PKPU diajukan oleh Kreditor, Pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor.

Pada ketentuan dua ayat dalam Pasal 225 UU KPKPU di atas terdapat penggunaan frasa “harus mengabulkan”, dimana pertanyaan selanjutnya apakah dengan adanya frasa tersebut pembuktian adanya utang sederhana wajib dibuktikan untuk menjatuhkan putusan PKPU terhadap Debitor?

Keadaan tersebut tidak diatur secara tegas dalam ketentuan PKPU pada Bab III UU KPKPU. Berbeda dengan ketentuan Bab III tentang Kepailitan Pasal 8 ayat (4) yang secara tegas menyatakan:
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: