Prof Jimly Asshiddiqie, antara Akademisi dan Jabatan Publik
Utama

Prof Jimly Asshiddiqie, antara Akademisi dan Jabatan Publik

​​​​​​​‘Di manapun kita berada, ambil hakmu, jangan lebih dari semestinya. Berikanlah kewajibanmu, jangan kurang dari seharusnya’.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Prof. Jimly Asshiddiqie dalam acara Festival of Alumni Leadership,  Sabtu (27/3). Foto: RED
Prof. Jimly Asshiddiqie dalam acara Festival of Alumni Leadership,  Sabtu (27/3). Foto: RED

Pernah mengalami kecopetan tak menyurutkan langkah Prof. Jimly Asshiddiqie muda kala hijrah ke ibukota Jakarta, tahun 1974 silam. Berbekal kemampuan berbahasa Inggris yang cukup, serta memiliki kebiasaan membaca menjadi ‘senjata’ mengadu nasib di kota metropolitan Jakarta. Mengantongi informasi lowongan pekerjaan dari koran yang dibacanya, Jimly menyambangi Kedutaan Besar (Kedubes) Pakistan yang membutuhkan tenaga translator. Sehari kemudian ia pun resmi bekerja di Kedubes Pakistan. Sempat pula di Kedubes Mesir.

Ulet dan tetap ingin terus sekolah selalu ada di pikiran Jimly muda pasca lulus dari sebuah madrasah Aliyah di Palembang. Selang tiga tahun di Jakarta, tepatnya 1977, dia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ya, selain bekerja, melanjutkan pendidikan, dia pun berorganisasi. Dia meniatkan ketiga aktivitas itu sukses dalam menempa kehidupan.

“Saya Ansor. Anak sore kuliahnya, membiayai diri sendiri,” ujarnya dalam acara ‘Festival of Alumni Leadership Camp Week I’,  Sabtu (27/3).

Kala duduk di bangku kuliah, terdapat 300-an mahasiswa yang mengambil mata kuliah ilmu sosial. Sang dosen kala itu terbilang ‘killer’. Dari ratusan mahasiswa itu, hanya dirinya dan temannya mendapat nilai 6. Sementara 300-an mahasiwa lainnya mendapat nilai di bawah 6. Jimly pun boleh dibilang menonjol di semua mata kuliah, di antara para mahasiswa FH UI kala itu.

Selang tiga tahun kemudian, dia  menjadi asisten dosen. Kemudian pada 1981, Jimly menamatkan pendidikannya di FH UI.  Aktivitas menapaki profesi dosen tak lepas dari keuletannya di dunia pendidikan. Dia pun resmi tercatat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) 1983 sebagai akademisi di bidang hukum tata negara (HTN).

Kariernya pun terus menanjak. Berbagai jabatan pernah dia lakoni. Antara lain Ketua MK, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hingga saat ini angggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).  Belum genap usia 38 tahun, dia telah menduduki level eselon I, yakni menjabat  staf ahli menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) Wardiman Djojonegoro, 1993 silam. Kendati begitu, dunia mengajar mahasiswa tetap ditekuninya. 

Saya mengajar tidak pernah stop. Menulis dan membaca tidak pernah berenti meski sudah di MK, sampai DPD saat ini,” katanya.

Kecintaannya terhadap disiplin ilmu HTN mendorongnya agar Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi, seperti halnya kebanyakan negara. Karenanya, dia gencar mendorong terbentuknya lembaga MK. Prof Jimly pun menjadi bagian orang yang merumuskan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hingga terpilih memimpin lembaga tersebut periode 2003-2008.

Prof Jimly menyorot tingkat integritas pejabat publik yang memburuk. Dia beralasan sejak era reformasi terdapat ruang kebebasan yang kian luas dan tidak terkendali. Bahkan sistem norma pun terbilang kurang efektif. Terlebih lagi, disrupsi teknologi dan informasi terus menjadi anomali. Sementara norma lama tak lagi berlaku,  namun norma baru belum berlaku efektif.

“Di situlah ada ruang kualitas dan perilaku dan integritas perilaku pejabat publik ada problem dan menurun,” katanya.

Kendatipun terdapat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan peran publik namun integritas pejabat publik masih menurun. Karenanya diperlukan rule of law dan rule of ethic. Dia menilai pemimpin mesti berfungsi sebagai pimpinan dari institusi publik. Sebaliknya, tak menjadi ‘tikus’  mencari kesempatan berikutnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menilai, gejala umum yang terjadi terkait dengan adanya konflik kepentingan pribadi dan kedinasan, yakni dengan berkicau di media sosial. Publik pun bertanya-tanya soal apakah pendapat pribadi atau institusi. “Pejabat publik harusnya kenegarawan, lupakanlah politik, lupakanlah pemilih, lupakanlah tim sukses. Tapi lebih menjadi pelayan masyarakat,” ujarnya.

Dia berpendapat, perlu adanya ketegasan kebijakan larangan konflik kepentingan. Misalnya antara bisnis dan politik. Dua hal tersebut menjadi gejala umum di seluruh dunia. Nah gejala umum tersebut  di Indonesia pun belum adanya kesadaran memisahkan bisnis dan politik. Terlebih lagi, budaya feodal dan partai-partai melakukan pembiruan darah dinasti. Karenaya perlu pembenahan secara menyeluruh.

Dia pun memberikan tips untuk dijadikan pedoman bagi pejabat publik. Pertama, mesti memahami persoalan secara mendalam. Baginya, setiap permasalahan mesti dipahami seluk-beluknya. Yakni melalui kualitas informasi dan pengetahuan. Kedua, soal integritas dan bersikap. Dia menyarankan agar setiap masalah dihadapi dengan akal yang tulus. “Bukan dengan akal bulus, apalagi akal  fulus. Kita hadapi dengan tulus,” katanya.

Baca:

Harus dimiliki akademisi

Menjadi akademisi merupakan pilihan hidup di dunia pendidikan. Makanya, ketika menjadi seorang akademisi, membaca menjadi kegiatan wajib. Apalagi dengan era digital, saran membaca menjadi jauh lebih mudah. Itu sebabnya, akademisi menjadi leih mudah mencerna ide-ide baru di berbagai bidang keilmuan. “Terlebih untuk hukum tata negara,” imbuhnya.

Prof. Jimly menegaskan, akademisi tak boleh terpaku pada hukum tata negara positif yang berlaku di Indonesia semata. Namun akademisi mesti dapat menangkap berbagai gejala perkembangan dunia hukum tata negara di berbagai negara. Dia mewanti-wanti agar akademisi hukum tak sekadar berpikir nasional. Apalagi sarjana hukum yang hanya terpaku pada peraturan perundangan, serta norma pasal-pasal dalam UU.

“Jangan jadi sarjana perundang-undangan. Tapi mampu menangkap perembangan hukum di dunia,” katanya.

Kemudian, semangat untuk terus bergerak. Dia berlasan di era teknologi semua bidang keilmuan bergerak cepat dan berubah. Dia memastikan, bila memandang ilmu hukum sepertihalnya saat ini, cara bekerja dan berpikir bakal terus tertinggal. Karenanya, ke depan bakal dibutuhkan akademisi hukum yang dinamis dan terus berkreasi. “Kalau kaku, maka keadilan terjerumus pada lembah ketidakadilan,” katanya.

Penyesalan

Prof Jimly ingat betul adanya permohonan uji materi sejumlah pasal dalam UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Khususnya penghapusan aturan ketentuan hukuman mati. Dalam sidang internal, dia berdebat panjang dengan delapan hakim. Setidaknya untuk menyamakan persepsi tentang pentingnya penghapusan pidana mati dalam hukum positif.

Namun sayangnya, berdasarkan hasil voting dari sembilan hakim, Prof Jimly berada pada posisi yang kalah. Komposisinya, kata Prof Jimly, 5 hakim konstitusi menolak penghapusan ketentuan pidana mati. Sementara 4 orang hakim konstitusi lainnya menyetujui penghapusan pidana mati, salah satunya dirinya.

Meski kalah suara dalam voting, Prof. Jimly enggan membuat dissenting opinion dalam putusan 2007 silam. Padahal, bila permohonan pemohon dikabulkan kendati dengan voting, maka akan menjadi hal baru dalam hukum pidana positif di Indonesia. Apalagi Indonesia menjadi mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia.

“Bayangkan kalau Indonesia mayoritas penduduk muslim terbesar menghapus pidana mati. Saya menyesali, kurangnya waktu meyakinkan teman-teman. Penyesalan tentang ide,” katanya.

Selain itu soal pilihannya menjadi anggota DPD yang sedang dijalani saat ini. Menjadi senator awalnya ingin memperbaiki kelembagaan DPD. Awalnya dia dapat memperbaiki kelembagaan dengan menjabat sebagai Ketua DPD. Maklum, Prof Jimly bukanlah orang yang berkecimpung di dalam dunia politik. “Eh malah tidak terpilih. Niat awal mau memperbaiki DPD,” ujarnya.

Senator asal DKI Jakarta itu mengatakan, banyak pihak memberi saran agar menjadi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari unsur DPD. Malahan memiliki potensi menjadi Ketua MPR. Namun bagi Prof. Jimly pekerjaan MPR sudah jelas. Sedangkan DPD memperbaiki dan mengawasi jalannya pembangunan di berbagai daerah.

Meski demikian, Prof Jimly tetap menjalani dengan penuh tanggung jawab kendati hanya menjadi anggota DPD. Ia memegang teguh tentang prinsip dalam menjalani kehidupan. Selain berserah diri dan ikhlas kepada Allah, tetap memegang teguh kepercayaan. “Di manapun kita berada, ambil hakmu, jangan lebih dari semestinya. Berikanlah kewajibanmu, jangan kurang dari seharusnya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait