Putusan MK Dinilai Tekankan Perbaikan Substansi UU Cipta Kerja
Utama

Putusan MK Dinilai Tekankan Perbaikan Substansi UU Cipta Kerja

Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sifatnya mengikuti. Kalaupun ingin merevisi UU Pembentukan Peraturan, penggunaan metode omnibus law dalam pembentukan UU tidak dapat berjalan efektif tanpa pembenahan sistem menyeluruh dalam tata kelola regulasi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Soal metode omnibus law yang ideal, Wicipto menjelaskan harus dimulai dengan menyusun naskah akademik yang komprehensif, dan tidak terburu-buru. Perlu partisipasi publik yang luas dan substansial yang masuk dalam omnibus law itu merupakan UU yang sifatnya sejenis atau satu klaster, sehingga memudahkan pembentuk UU. Kemudian tidak cacat prosedur dan substantif.

Menurut Wicipto, UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah terakhir melalui UU No.15 Tahun 2019 sebenarnya sudah mengakomodir mekanisme omnibus law. Misalnya, UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dimana substansinya mengintegrasikan pengaturan norma UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; UU Penyelenggara Pemilu; dan UU Pemilu Legislatif.

UU No.7 Tahun 2017 juga mencabut dan menyatakan 3 UU tidak berlaku yakni UU No.42 Tahun 2008 tentang Presiden dan Wakil Presiden; UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu; dan UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Norma yang diatur juga baru (dan satu kelompok, red), bukan norma “campur sari” seperti UU No.11 Tahun 2020.

“Tidak seperti UU No.11 Tahun 2020 yang isinya ada norma baru, memperbaiki (mengubah, red), dan mencabut aturan. UU No.11 Tahun 2020 ini ‘campur sari’, dan ini yang menjadi masalah,” paparnya..

Meskipun MK mengamanatkan untuk mengubah UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Wicipto berpendapat bukan berarti hanya UU itu saja yang diubah, tapi juga termasuk UU No.11 Tahun 2020. Sasaran utama putusan MK itu UU No.11 Tahun 2020 yang harus diperbaiki. Sedangkan, UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sifatnya mengikuti.

Jika UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan nanti direvisi, Wicipto menyarankan tinjauannya harus komprehensif, tidak sekedar mengakomodir putusan MK, tapi juga memuat metode omnibus law dan perubahan pada lampiran II UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (format dan teknis penyusunan peraturan, red).

“Seharusnya omnibus law ini bisa disisipkan dalam perubahan UU No.12 Tahun 2011,” imbuhnya.

Pembenahan menyeluruh

Peneliti PSHK dan Pengajar STH Indonesia Jentera, M Nur Sholikin menilai omnibus law merupakan salah satu strategi pembenahan regulasi yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Tapi proses pengenalan metode ini kepada publik terburu-buru dan tidak partisipatif.

Padahal penting menata regulasi yang menyentuh manajemen regulasi. Putusan MK ini tak hanya mempersoalkan teknik pembentukan UU yang tidak sesuai dengan lampiran II UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tapi juga proses, dan substansinya.

Solihin berpendapat praktik penggunaan metode omnibus law dalam menyusun UU No.11 Tahun 2020 harus dievaluasi secara menyeluruh. Omnibus law bukan satu-satunya solusi dalam mengatasi permasalahan tata kelola regulasi di Indonesia. Penggunaan metode omnibus law dan implementasi UU yang dibentuk dengan omnibus law tidak dapat berjalan efektif tanpa pembenahan sistem menyeluruh dalam tata kelola regulasi.

Terakhir, Solihin mendesak pemerintah dan DPR harus melibatkan partisipasi masyarakat yang luas dalam menyusun revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. “Jangan sampai pemerintah dan DPR memanfaatkan putusan MK ini dengan mengatur prosedur pembahasan omnibus law sembarangan, apalagi sekedar mengukuhkan praktik buruk proses pembentukan UU No.11 Tahun 2020.”

Tags:

Berita Terkait