RUU Pemda dan RUU MA, Pintu Pertama Membenahi Prosedur Pengujian Perda
Kolom

RUU Pemda dan RUU MA, Pintu Pertama Membenahi Prosedur Pengujian Perda

Undang-Undang perlu mengatur pembagian kompetensi pengawasan perda berdasarkan jenis perda antara pemerintah dan MA.

Bacaan 2 Menit

Penjelasan tersebut menggambarkan salah satu permasalahan regulasi dalam pembatalan perda oleh pemerintah. Permasalahan lain muncul terkait dengan implementasi pengawasan berjenjang terhadap Perda. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah mengatur mengenai pengawasan berjenjang atas Raperda dan Perda. Model pengawasan yang diatur Permendagri ini membagi pengawasan antara Kemendagri dengan pemerintah provinsi baik untuk mekanisme pengawasan evaluasi maupun klarifikasi. Kemendagri berwenang mengawasi perda provinsi sementara pemerintah provinsi mengawasi perda kabupaten/kota. Kewenangan pengawasan oleh Kemendagri dan pemerintah provinsi termasuk kewenangan untuk membatalkan perda yang dianggap berrmasalah. Model pengawasan berjenjang yang melibatkan pemerintah provinsi sebenarnya telah diatur dalam Permendagri No. 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Perda dan Peraturan Kepala Daerah. Namun, implementasinya belum berjalan dengan baik. Pemerintah provinsi belum menjalankan kewenangannya mengawasi raperda atau perda kabupaten/kota.

Kajian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada 2010 menyebutkan bahwa keterlibatan pemerintah provinsi masih sebatas pengawasan terhadap penyusunan raperda APBD Kabupaten/kota. Di luar jenis perda tersebut, pemerintah provinsi tidak menjalankan pengawasannya. Bahkan pembatalan perda pun dilakukan oleh Kemendagri, walaupun berdasarkan Permendagri No. 53 Tahun 2007 pemerintah provinsi mempunyai wewenang untuk melakukan pembatalan perda. Apakah pengawasan berjenjang yang diatur kembali dalam Permendagri No. 53 Tahun 2011 akan bernasib sama tidak dapat diimplementasikan?

Permasalahan pengawasan perda juga muncul dalam judicial review perda oleh MA. Aturan rinci tentang judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terdapat dalam Perma No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Efektivitas mekanisme yang diatur dalam Perma ini juga menjadi pertanyaan.Data pengujian perda yang dilakukan oleh MA hanya terdapat 12 putusan selama tahun 2010 dan 6 putusan selama tahun 2011. Jumlah ini sangat jauh dibandingkan jumlah perda yang diindikasikan bermasalah oleh Kemendagri selama 2011 yang berjumlah 351 perda.Asumsinya jumlah perda bermasalah tersebut juga berpotensi untuk diajukan permohonan judicial review ke MA dan jumlah pengujian perda oleh MA selama dua tahun tersebut tidak merepresentasikan jumlah perda yang bermasalah.

Dari sisi pengajuan permohonan, MA sudah memberikan kemudahan bagi pemohon untuk mengajukannya melalui pengadilan negeri. Pemohon tidak perlu datang langsung ke kantor Mahkamah Agung. Namun, permasalahan muncul ketika masuk dalam tahap pemeriksaan. Tidak ada sidang untuk mendengarkan keterangan dari pemohon, begitu juga keterangan dari termohon. Pemohon cukup menyerahkan permohonan dan termohon hanya diberi kesempatan untuk menyampaikan jawabannya. Selebihnya, proses pemeriksaan dilakukan oleh MA. Bagaimana pemeriksaan dilakukan, apakah ada keterangan ahli yang diperdengarkan dalam pemeriksaan tersebut, atau apakah ada informasi yang perlu dikonfirmasi kepada pemohon tidak dapat diketahui oleh masyarakat bahkan oleh pemohon sekalipun. Setelah mengajukan permohonan, pemohon hanya tinggal menunggu pengiriman putusan tanpa tahu bagaimana proses pemeriksaannya dan bahkan tanpa tahu kapan putusannya akan diterima.

Gambaran di atas menunjukkan permasalahan di tingkat regulasi pengawasan perda yang berdampak pada tidak efektifnya pelaksanaan pengawasan perda baik melalui executive review maupun judicial review. Kondisi ini perlu segera dicari solusi untuk mengefektifkan pengawasan perda. Pembahasan RUU Pemda dan RUU MA saat ini menjadi pintu yang strategis untuk merevisi pengaturan mekanisme pengawasan perda ini. Perbaikan mekanisme ini perlu dilakukan mengingat mekanisme yang lama tidak mampu menyelesaikan permasalahan mengenai perda bermasalah.

Membagi Kompetensi Pengujian

Penjelasan pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa dua mekanisme pengujian perda melalui executive review dan judicial review tidak berjalan secara efektif. Pemerintah selama ini fokus pada pengawasan perda retribusi dan pajak daerah. Perda yang mengatur bidang lainnya terabaikan. Padahal banyak masalah perda di luar jenis perda tersebut. Sementara itu, mekanisme judicial review perda oleh MA juga belum menjadi pilihan bagi masyakarat untuk menguji perda yang bermasalah. Bisa dilihat dari jumlah perda yang dibatalkan oleh MA. Untuk mengefektifkan pengawasan di masing-masing institusi tersebut, perlu ditempuh, salah satunya, denganmembagai kompetensi pengawasan. Pembagian ini dilakukan agar masing-masing institusi dapat fokus pada pelaksanaan pengawasan dan memberikan kejelasan bagi masyarakat atas mekanisme pengawasan perda tersebut. Kompetensi pengujian dapat dibagi antara pemerintah dengan MA. Pemerintah diberi wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap perda retribusi daerah, pajak daerah, APBD dan tata ruang. Pemerintah dapat menerapkan pola pengawasan evaluasi maupun klarifikasi preventif. Sedangkan di luar jenis perda tersebut, menjadi kewenangan MA untuk melakukan pengujian dengan mekanisme judicial review.

Dua kelompok perda yaitu empat jenis perda tertentu dan di luar jenis perda tersebut memiliki model pengaturan yang berbeda dari sisi keterikatan pengaturan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Batasan terhadap ketentuan empat jenis perda dapat terukur. Misalnya mengenai jenis dan besaran retribusi atau pajak daerah. Sementara, kelompok perda lainnya erat kaitannya dengan kebutuhan sosial masyarakat di daerah masing-masing. Pertimbangan pembentukannya juga didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politis  sesuai dengan aspirasi atau kebutuhan daerah. Seharusnya produk politik seperti perda ini, diuji dengan prosedur yang netral terhadap kepentingan politik. Yaitu melalui kekuasaan kehakiman. Apabila pengujian diserahkan kepada pemerintah maka bisa jadi pertimbangan dalam menentukan hasil akhir pengawasannya pun didasarkan atas pertimbangan politis pemerintah pusat yang berpotensi tidak sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan daerah. Apalagi dengan pendekatan relasi yang hirarkis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kekuasaannya lebih besar di pemerintah pusat. Oleh karena itu, pembagian kompetensi ini perlu dilakukan untuk memposisikan perda sebagai produk politik di tingkat lokal yang hanya dapat dibatalkan melalui kekuasaan yudikatif yang independen.

Tags: